16. Anak panti

336 39 5
                                    

“Tetaplah berbuat baik meskipun tidak diperlakukan baik oleh orang lain.”
.
.
.
—Author—
🌺🌺🌺

“Teh Una!” girang seorang anak kecil ketika melihat Hunaf turun dari mobil di depan sebuah bangunan rumah yang cukup besar. Ada banyak anak yang berkeliaran di halaman rumah tersebut.

“Bella,” panggil Hunaf lalu berjongkok sambil merentangkan tangannya ke arah Bella yang berlari mendekatinya.

“Bella kangen banget sama teteh! Kenapa teteh jarang ke sini lagi?” tanya Bella yang masih memeluk erat Hunaf. Lalu kemudian pelukan itu terlepas, Hunaf menangkup kedua pipi Bella.

“Teteh ‘kan kerja sayang, supaya kalau ke sini bisa beliin Bella mainan sama makanan buat yang lain juga. Tuh, teteh udah bawa banyak mainan buat Bella sama yang lain juga, ambil gih sana.” Hunaf menujuk belakang, di sana sudah ada suami dan supirnya yang sibuk mengeluarkan makanan dan lain-lain yang ia bawa. Ada banyak mainan juga untuk anak-anak di sini. Saat datang berkunjung, Hunaf selalu membawakan mereka mainan dan juga kebutuhan lainnya.

Hunaf sudah sering berkunjung ke sini, mulai dari ia masih kuliah. Karena dulu sewaktu kuliah ia juga bekerja di perusahaan ayahnya jadi ia memiliki cukup penghasilan untuk membiayai hidup anak-anak panti tersebut. Bahkan uang jajannya sendiri ia berikan untuk mereka semuanya, Hunaf juga bukan tipe orang yang banyak jajan dan hobi belanja barang-barang mewah, meski dia berasal dari keluarga berada tapi orang tuanya selalu mengajarkan agar tidak boros apalagi untuk hal yang tidak bermanfaat lebih baik uang itu digunakan untuk membantu orang yang lebih membutuhkan.

Mulai dari situ ia mengenal anak-anak panti di sini dan akrab dengan mereka, bahkan sekolah mereka Hunaf yang menanggung. Mulai dari SD sampai Perguruan tinggi, bukan hanya biaya yang ditanggung, semangat mereka pun berasal dari dukungan Hunaf. Meski banyak yang mengatakan kalau perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena akan berakhir di dapur. Itu sangatlah salah, jika perempuan tidak mempunyai pendidikan lalu bagaimana mereka akan mendidik anak-anak mereka kelak. Dan juga, perempuan yang tidak memiliki pendidikan banyak sekali dipermainkan oleh yang memiliki pendidikan. Seiring perkembangan jaman, layak atau tidaknya seseorang dilihat dari sisi pendidikan. Banyak yang mengatakan kalau yang tidak memiliki pendidikan tidak pantas untuk siapapun dan tidak bisa melakukan apapun. Jika seperti itu, lalu kenapa banyak yang mengatakan kalau perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi.

Ada juga yang mengatakan kalau perempuan berpendidikan tinggi akan membuat laki-laki minder. Tapi itu adalah kesalahan besar, bukankah laki-laki yang pendidikan tinggi juga akan mencari partner yang sama, lalu bagaimana mungkin ada yang mengatakan hal demikian. Jangan mematahkan mimpi seseorang hanya karena kamu sendiri tidak bisa melakukan hal yang sama.

“Ini dibawa ke dalam langsung apa gimana?” tanya Yanza yang muncul dibelakang. Hunaf sedikit kaget, ia kemudian mengulas senyum tipis.

“Ya dibawa ke dalam langsung toh mas, emang mau dikemanain dulu itunya,” jawab Hunaf sedikit terkekeh dengan pertanyaan sang suami.

“Siapa tahu mau keliling monas dulu belanjaan nya,” canda Yanza. Hal itu justru membuatnya mendapatkan pukulan dari sang istri.

“Ada-ada aja kamu.” Hunaf langsung mengusap kembali bekas pukulan yang ia lakukan tadi. “Reflek mas!”

“Perempuan gitu ya, apa-apa langsung mukul. Mana sakit lagi mukulnya,” sindir Yanza.

With You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang