17. "Gue harus gimana?"

2.1K 181 5
                                    

Suara alarm mengudara di ruangan itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Suara alarm mengudara di ruangan itu. Baju-baju kotor tersampir di beberapa titik-bibir kasur, sandaran kursi, dan sofa. Kaleng minuman ionik tercecer di lantai, bergabung dengan beberapa bungkus makanan ringan dan tisu. Biasanya suara seorang perempuan akan membangunkannya. Suara berisik yang khas, bersamaan dengan tirai yang disingkap pelan oleh jemari lembut si pemilik lesung pipi.

Secercah sinar mentari menerobos masuk lewat celah kusen. Alarm berbunyi lagi setelah tangan panjang dari balik selimut sempat mematikannya. Kaki panjang si pemilik langsung menyembul dari balik selimut. Erangan kecil membentur udara.

"Alarm sialan!" umpat Rafli. Saat bangun tidur perasaannya masih jengkel. Kali ini bukan pada Bia atau siapa pun, tetapi pada dirinya sendiri. "Bi, kenapa nggak bangunin aku? Hari ini ada janji sama Amar. Katanya mau lihat aku cepet lulus, tapi-" Rafli membuka selimut. Ucapannya dibalas suara alarm yang berisik mengusik.

Tumben. Meski bunyi alarm begitu merdu, biasanya Bia akan lari ke kamar dan mematikannya karena tak tahan. Istrinya itu akan sedikit mengomel, tetapi dengan lembut membangunkan dan biasanya satu morning kiss mendarat di dahi Rafli.

Pagi itu ... nihil.

Dengan mata yang masih menahan kantuk, muka bantal, dan napas memburu sesaat, Rafli mengedarkan pandangan ke segala penjuru kamar.

"Bia?" Dia bergumam sambil menggaruk-garuk ceruk leher yang sedikit tertutup kaus putih.

Kepala Rafli mendadak pening saat melihat kamar yang seperti kapal pecah. Helaan napas berat pun lolos membentur udara. Hampir saja lelaki itu mengumpat lagi tatkala memorinya memutar kejadian kemarin. Meski berkali-kali Rafli menahannya agar tidak pergi, langkah dan keputusan sang istri sudah mantap. Dengan bercucur air mata sambil menggendong Noah, Bia berjalan tergesa menuju jalan raya, lalu menghentikan taksi dan meninggalkan Rafli.

Pagi itu setelah selesai membersihkan diri, Rafli bergerak turun. Sepi. Ke mana perginya suara ribut di dapur? Piring, gelas, sendok, atau garpu yang beradu dengan meja. Tiada suara siulan air mendidih dari teko dan tentu tiada senyum Bia yang menyapa.

"Raf, lo keterlaluan," gumam Rafli seraya melangkah menuju meja makan.

Makan roti tawar dingin dengan selai kacang saja tidak cukup. Jika ada Bia, Rafli mungkin tidak mempermasalahkan meski hanya roti, tetapi masalahnya sekarang dia sendirian. Bahkan sebentar lagi sudah jam setengah sembilan, Mbak Andar juga tidak datang. Rumah benar-benar sepi dan Rafli tidak suka sendiri.

Mau tak mau ia mengunyah roti tanpa minat sedikit pun. Ia mencoba menelepon Bia, tetapi nomornya tidak aktif. Berkali-kali mencoba, bahkan sampai abai pada pesan dan panggilan Amar, tetap saja tidak ada jawaban dari Bia. Rafli membanting sisa roti di tangannya. Sikap Bia membuatnya gerah.

"Kamu juga yang bikin aku marah-marah, terus aku juga yang harus datang bujuk kamu pulang?" Rafli menggeleng sesaat setelah meneguk air mineral di gelasnya. "Kita lihat aja, Bi. Sampai kapan kamu tahan jauh-jauh dariku."

Kami Pasutri√Where stories live. Discover now