9. TERDALAMNYA SEBUAH LUKA

Start from the beginning
                                    

Hanya malam ini. Hanya untuk malam ini ia akan mengizinkan adiknya.

"Dulu waktu kamu pergi, rasanya kehidupan di rumah hambar. Apalagi Bunda dan Ayah saat itu tidak tahu dengan detail alasan kenapa kamu mutusin pergi. Selain apa yang kamu ceritain ke mereka. Termasuk dengan Kay yang begitu terluka dengan keputusan kamu. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa."

Ara mengangguk dengan penjelasan Ori, matanya sesekali menatap bintang di langit. Tidak terang, hanya redup. Apakah sama seperti hatinya?

"Dan jelang setahun kamu pergi, rumah rasanya semakin tidak hidup. Rumah hambar, ga ada lagi yang buat keributan, ga lagi yang bisa diajak buat godain Bunda. Kita semua terluka. Kita semua kehilangan bintang rumah kita. Kita kehilangan cahaya rumah. Ayah juga pernah berpikiran untuk mengajak kita semua pindah biar kita bisa bersama – sama lagi."

Ara terus mendengarkan, tanpa ia sadari sebotol minuman sudah habis. Tangannya hendak membuka kaleng minuman lain, tapi Ori melihatnya.

"Udah Ra, nanti kamu mabuk." Jelas Ori.

Ara menggeleng dan tetap membuka kaleng minumannya.

"Lanjut kak," ucap Ara meski suaranya sudah mulai serat.

"Kamu tahu? Kakak sempat berpikir, bahwa keluarga kita alay. Masa karena kamu pergi sebentar rasanya hambar? Tapi itu benar adanya. Sampai akhirnya, Bunda dan Ayah menanyakan hal itu. Alasan sebenarnya kamu pergi."

"Dan kakak jujur, bahwa kamu pergi dengan niat untuk melupakan Kay."

Ara menyenderkan kepala pada pundak Ori. Melupakan? Bahkan sampai saat ini tidak ada 1% pun Kay menghilang dari kepalanya.

"Bunda dan Ayah tidak kaget dengan hal itu. Mereka awalnya memang mau menjodohkan kamu dengan Kay. Tapi akhirnya semuanya tidak bisa. Karena kamu memutuskan pergi dan Kay juga sudah mengenalkan Vera ke Ayah dan Bunda."

Tapi kenapa dia tidak dijodohkan saja sejak kecil? Setidaknya dia masih ada alasan untuk berjuang. Ucap Ara dalam hati.

"Sekitar 6 bulan setelah Kay main ke rumah, Bunda dan Ayah mutusin untuk pindah rumah. Sebenarnya ini saran dari kakak dan juga Renan. Dia yang selalu laporan tentang kamu selama di sana. Ya, kakak ga bisa lihat kalau kamu balik dan malah tersenyum sedih dengan apa yang ad di samping rumah kita. Atau kamu harus melihat Kay lagi. Jadi kita memutuskan untuk pergi dan Ayah mencoba buat seperti rumah kita. Tapi nyatanya? Kamu akhirnya merasa ada perbedaan."

"Ka..rena terasa asing ka," gumam Ara. Dia sudah hampir tidak sadar. Tapi tangannya tidak berhenti untuk mengangkat minuman itu dan menuangkan ke mulutnya.

"Sebentar," Ucap Ori. Ia mengangkat kepala adiknya yang bersandar.

"Jangan tidur. Sebentar ada yang mau kakak ambil di bagasi."

"Iya bawel," ucap Ara.

Ara memgerakkan jarinya di pasir, mencoba untuk membuat sebuah kalimat. Tapi kepalanya mengajak ia memutar. Pantai yang tadinya lurus kini bergoyang-goyang. Dan dia hampir saja tumbang karena pantai itu berputar ke atas.

"ARA! Kan kakak bilang apa, kamu mabuk." Teriak Ori dan menahan tubuh Ara yang hampir terjatuh di pasir.

"A..ku gga mmabukk kok kak," Balas Ara. Dia mencoba mengucek matanya, kini pantai tidak lagi memutar. Tapi rasa sakit sedikit menyerang kepalanya.

"Ini yang kamu cari." Ori menyodorkan sebuah kotak.

Ara tersenyum. Akhirnya kotak harapannya bisa ia lihat kembali, harapan yang harusnya sudah mulai pupus. Tangannya mengambil kotak yang diberikan Ori. Dan membukanya.

Unless YouWhere stories live. Discover now