Nathan mengangguk. "Aku tahu kau sangat membenci ayahmu, tetapi dia tetap ayahmu sendiri kan? Kurasa dia menerimaku sebagai calon menantunya."

Emily tak tahu harus mengatakan apa. Hubungan dengan ayahnya memang kurang baik. Walau begitu, beberapa kali ia memang sempat bertemu ayahnya. Walau dalam lubuk hati terdalamnya, ia merindukan sosok sang ayah, tetapi di sisi lain kebenciannya akan apa yang ayahnya lakukan tetap membekas di dalam dirinya.

"Ya, pasti dia menerimamu," kata Emily alih-alih marah karena Nathan bertemu ayahnya.

Nathan menunduk, tampak emosional. Lalu, ia menoleh ke Emily dengan tatapan serius. "Ia berpesan agar aku bisa membahagiakanmu, tidak sepertinya yang gagal membahagiakan ibumu," ungkapnya.

Emily menahan matanya yang terasa panas, tetapi memilih tersenyum walau dada terasa sesak. Lalu, bagai kekasih yang sangat pengerian, Nathan memeluknya dengan lembut.

⌘♛∞♛⌘

Ternyata, mempunyai program sendiri tak seburuk yang Emily pikirkan. Ia justru lebih fleksibel. Karena tidak harus liputan di lapangan, ia hanya perlu syuting seminggu sekali di studio. Selain itu, perkerjaannya hanya rapat untuk menentukan ide program dan mengorganisir timnya. Tentu saja, banyak waktu luang baginya untuk mengupas apa yang sedang ia selidiki bersama Remi.

Sekarang, Remi mengajak Emily ke rumah Tiffany alias istri Steven, orang yang membayarnya untuk menyelidiki perselingkuhan Steven. Rumah itu cukup mewah dan terlihat sangat nyaman, tetapi karena hanya ditinggali tiga orang. Jadi, terasa sangat sepi.

"Itu Theo dan Shopia?" tanya Emily yang melihat dua anak yang tengah bermain di ruang tengah.

"Iya, itu mereka," jawab Tiffany.

Emily izin untuk bertemu dengan dua anak itu, sementara Remi dan Tiffany menuju ke ruangan lain.

"Halo," sapa Emily kepada Theo dan Shopia. "Aku Emily, aku juga suka lego, boleh bergabung dengan kalian?"

"Kau siapanya ibuku?" tanya Theo yang masih tujuh tahun.

"Aku temannya," jawab Emily.

"Kami tidak pernah bertemu denganmu sebelumnya," celetuk Shopia yang berusia sepuluh tahun.

"Ya, kami baru saja berteman. Kalian tahu paman Remi? A—"

"Oh, kau pacarnya Paman Remi?" tanya Shopia.

"Bu—"

"Oh kalau pacarnya Paman Remi, berarti kau bisa kami panggil Bibi Emily tidak apa-apa ayo main bersama.

"Paman Remi sangat baik ke kami, tentu saja kami harus baik ke pacarnya," ujar Shopia yang tersenyum ramah sembari menggeser tubuhnya agar Emily bisa duduk di sebelahnya.

Emily menelan ludahnya, tetapi tak bisa mengatakan apa-apa selain ikut duduk dan mulai menata lego. "Aku akan menyusun rumah."

"Bagaimana kau bisa berpacaran dengan Paman Remi?" tanya Theo.

"Apa yang membuatmu jatuh cinta dengannya?" Shopia ikut bertanya.

Emily tampak kebingungan. "Sebenarnya aku i—"

"Sudah berapa lama?"

"Apa dia mengorok saat tertidur? Dia pernah tidur di sofa itu dan mengorok dengan keras. Aku terbangun karenanya," kata Theo seraya menunjuk sofa yang tak jauh dari karpet tempat mereka duduk.

"Apa kalian sudah lama mengenal Remi?" tanya Emily.

"Tidak, kami baru mengenalnya. Ayah kami melupakan kami. Dia hampir tak pernah pulang, Paman Remi sering datang ke sini dan bermain dengan kami. Jadi, kami tidak kesepian," kata Theo.

Making Crazy ScandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang