28

8.6K 1.7K 123
                                    

Ada sedikit kegundahan yang bergetar dalam diriku. Seperti setetes air yang jatuh di kolam. Pada awalnya hanya menciptakan riak kecil, kemudian riak-riak baru muncul dan mulai menciptakan pengaruh, sedikit perubahan, dalam diriku. 

Memandang foto orangtua Laura membuatku dilanda dilema. Terbersit pikiran perihal “andai saja mereka masih ada, mungkin Laura tidak akan terjatuh dalam kebencian”. Namun, hal sebenarnya bukan hanya perkara benci saja. Laura menerima perlakuan buruk dari Marisa sementara Adam pada waktu itu sama sekali tidak memiliki tekad melawan perempuan itu.

Sekarang segalanya berbeda.

Aku berani keluar dari zona cerita. Romeo, Sarah, dan Alan. Masa bodoh dengan mereka bertiga. Ada hal penting selain cinta yakni, urusan perut. Mereka boleh saling tikung dan bunuh. Aku tidak peduli. Sekarang ada Ivan dan Mona. Mereka bisa menjadi wali asuh yang jauh lebih baik daripada Adam dan Marisa. Ada pilihan, kesempatan, dan peluang. Mana mungkin hati ini terombang-ambing demi ketiga tokoh penting?

Uang masih tetap menjadi prioritas.

Titik.

“Om, nggak perlu merasa bersalah. Semua sudah terjadi dan sekarang yang perlu Om lakukan hanyalah berusaha melindungi diri dari tekanan Tante marisa,” aku menyarankan. Secara hati-hati aku meletakkan kotak di meja dan memperhatikan Adam yang tampak gelisah. “Om, masih ada banyak wanita yang jauh lebih sehat jiwa dan emosinya daripada Tante Marisa. Semisal dia tidak memegang kunci apa pun terkait kelangsungan hidup Om, maka lebih baik putus saja daripada terjebak hubungan beracun.”

Pembalasan. Buwahahaha dengan begini Marisa akan menerima rasa sakit berkali-kali lipat. Rasakan! RASAKAN ITU!

“Dia nggak memegang saham di Klein, ‘kan?”

Adam menggeleng. “Tapi, bagaimana dengan Sarah?”

Sebut saja aku orang jahat. Tidak masalah. Aku hanya ingin memastikan Marisa mendapat tulah! Dia telah berbuat jahat dan berani menindas yang lemah. Manusia tidak  seharusnya memiliki sifat sedemikan keji! Hanya iblis! Iblis, bukan manusia. Sarah bisa tumbuh sebagai pribadi baik tanpa contoh buruk di dalam keluarganya. Tiara menggambarkan Sarah sebagai sosok yang terlalu memedulikan perasaan orang lain. Mungkin itu karena dampak dari pola asuh serta contoh di lingkungan keluarga.

Sekarang aku akan melakukan perubahan.

“Om, apa Om cinta Tante? Apa bersamanya Om merasa mendapat kedamaian? Coba tanyakan kepada Sarah sebelum menerima saran dariku. Lihat dan dengar apa yang ia pilih.”

Sungguh kocak. Orang dewasa mendengar siasat keji bocah ingusan. Eh, aku aslinya sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun. Jadi, anggap saja aku bukan bocah ingusan.

“Dalam bisnis tidak ada guna mempertahankan hubungan yang tidak menguntungkan,” aku menyarankan. “Sarah berhak hidup dalam lingkungan sehat. Dia tidak seharusnya mendengar teriakan Tante Marisa setiap kali suasana hatinya buruk. Menurutku, sekalian saja bawa ke psikiater. Sekadar jaga-jaga bila jiwa Tante Marisa memang bermasalah.”

Itu benar! Pasti ada yang salah dengan mental Marisa. Dendam sih boleh, tapi memukul anak-anak? Berhubung aku sudah merasakan tamparan Marisa, maka sekarang saatnya aku balas menampar dia!

“Om tidak merasa aman,” Adam mengaku. “Om menikahinya karena rasa tanggung jawab terhadap Sarah. Selama ini Om merasa buta. Setelah mendengar ucapanmu Om mendapat pemahaman bahwa tidak selamanya pernikahan bisa membawa seseorang dalam kebahagiaan. Tidak, bila niat pernikahan dari awal sudah salah.”

Marisa hanya akan meracuni Sarah dan Adam. Jangan lupakan Romeo. Bila yang ia ucapkan mengenai orangtuanya memang benar, maka sudah pasti Marisa hanya menambah daftar contoh buruk dalam kehidupan Romeo. Seseorang harus turun tangan dan AKU TIDAK KEBERATAN MENGGANGU MARISA.

Yeiy yeiy yeeee syalala!

“Sebenarnya Sarah pun pernah mengajukan ide serupa,” kata Adam. Senyum miris terpeta di bibirnya. “Dia ingin Om meninggalkan Tante. Katanya Om kelihatan tidak bahagia dan dia nggak suka melihat Om bersedih.”

“Sarah bilang begitu, Om?”

Wow. Kemajuan! Dengan begini pembalasan Marisa akan sangat menyakitkan!

Siapa suruh jadi orang hobi nabok kanan kiri cantik? Makan tuh hobi!

“Iya,” Adam membenarkan. “Sarah tidak keberatan pisah. Dia bahkan berencana ikut Om dan ingin fokus ke pelajaran.”

‘Itulah kekuatan tokoh utama!’ seruku dalam hati. ‘Luar biasa! Hebat!’

“Omong-omong, ada yang ingin Om sampaikan terkait kepergianmu. Sarah dan Romeo sangat terluka. Bila Sarah mencoba memikirkan mengenai keselamatanmu, maka Romeo seperti ... terkhianati? Tidak satu kali pun dia bertanya mengenai alamatmu. Tenang, Om menghormati keputusanmu dan tidak mengatakan apa pun terkait alamatmu. Hanya saja Romeo sepertinya memiliki caranya sendiri ... dia memutuskan pindah ke luar negeri dan fokus ke bisnis.”

Ternyata si anak itik memang menepati janji. Dia serius mengejar karier. Bagus.

“Om merasa kalian, Sarah dan kamu, justru lebih dewasa daripada kami.”

“Kedewasaan bukan diukur dari usia, melainkan pola pikir. Udahlah, Om. Nggak perlu sedih dan merasa bersalah. Sekarang yang terpenting ialah mengikuti kata hati. Om sendiri, kan, yang bilang Sarah juga ngasih ide serupa? Maka, sekarang saatnya Om menikmati kebahagiaan dan lepas dari campur tangan orang jahat.”

Di dunia ini masih banyak manusia yang senang menyakiti orang lain. Entah itu orangtua kepada anak, anak kepada orangtua, teman? Aduh rame! Hidup sudah susah dan tidak perlu menambah daftar penderitaan.

Apabila bisa menikmati sedikit kesenangan, ya tidak masalah. Lalu, apa gunanya membandingkan penderitaan? Nggak masuk akal! Semisal ada orang curhat dan justru memberi komentar: “Hidupku itu jauh lebih susah daripada kamu. Lihat, aku bisa bla bla bla.” Ya mohon maaf, kalau bisa sih berlomba hidup enak.

Lalu, dunia ini kadang pahit. Namun, bukan berarti dukacita orang lain tidak valid. Putus cinta itu sakit, nyata. Dikhianati sahabat itu nyeri banget, fakta. Semua penderitaan itu pasti menyakitkan dan tidak perlu merasa unggul dalam bidang “sakit banget aku hidup tuh”. Bagaimana kalau saling dukung dan mencoba menghibur? Itu jauh lebih baik daripada sesumbar “aku manusia paling ternista dan hidup dalam kubangan penderitaan. Kalian nggak ada apa-apanya. Cih”. Hmmm halo? Apa sebegitu indahnya berada pada posisi “yang paling ngenes”?

Orang butuh saling menolong. Jangan lupakan toleransi. Justru penderitaan dan kepedihan itu tercipta bukan hanya karena masalah ekonomi, melainkan tumpulnya empati dan tenggang rasa. Andai manusia bisa berusaha peduli dan berempati, maka kejahatan tidak mungkin lahir di dunia. Begitu seseorang hendak bertindak buruk, maka pikiran baik mengenai “bagaimana bila itu terjadi kepadaku” akan menjadi penghalang seseorang berbuat keji.

Sayang dunia tidak bermain sesuai aturan baik. Masih saja ada manusia yang merasa paling benar, paling tahu, dan paling-paling-paling segalanya. Tidak ada empati, nihil nurani, dan hanya berpusat pada kepentingan pribadi. Masa bodoh dengan penderitaan orang lain. Aduh hidup memang butuh ekstra perjuangan.

Akan tetapi, yakinlah. Bahkan ketika tengah berada pada titik terendah selalu ada jalan mendaki ke atas. Meskipun sekarang bertemu orang “yang pantas disuapi terasi mentah” dan membuat mental disko ria, suatu saat karma pasti berlaku.

Bertahan. Tetap bertahan.

Suatu saat hidup pasti akan membaik.

***
Selesai ditulis pada 11 Juli 2022.

***
Halo, kondisi saya jauh lebih baik daripada kemarin. Sekarang sudah nggak menggigil dan berhubung dari siang, sore, malam saya kebanyakan tidur (jamnya pun tidak teratur karena bangun tidur bangun tidur lagi) sekarang saya malah nggak ngantuk. Alhasil saya nulis Laura saja sekalian.

Sumpah kembung, mual, demam, dan menggigil itu nggak enak.

Salam hangat,

G.C

Lady Antagonis (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang