10

14.8K 2.7K 127
                                    

Pada suatu hari Sarah menemuiku di perpustakaan sekolah. Barangkali dia sengaja memilih tempat tersebut karena sepi dan tidak ada gangguan dari Marisa maupun yang lain. Ketika itu aku tengah berdiri di depan rak, sibuk memilih novel, dan tiba-tiba saja Sarah memanggil.

“Laura, aku pengin ngomong sesuatu.”

Bahu Sarah tampak terkulai. Cahaya di wajah pun tidak secerah sebelumnya. Padahal dia selalu digambarkan sebagai wanita cantik dengan paras menyenangkan. Namun, deskripsi yang Tiara tuliskan mengenai Sarah tidak terlihat.

“Maafkan aku,” katanya lirih. Dia menunduk, seolah menatapku bisa membuatnya terserang sakit. Atau, mungkin dia mencoba menghindar dari sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. “Kamu benar. Selama ini aku memang nggak bisa melihat dengan jelas mengenai perlakuan Mama.”

Perlahan Sarah mendongak, menatapku. “Aku hanya berharap Mama bisa menerimamu, sama seperti Papa. Namun, yang ada hanya hari-hari seperti di neraka. Kamu yang selalu berakhir sakit karena Mama. Maaf, Laura.” Kedua mata Sarah berkaca-kaca. Hidung merah. Betapa rapuh ia di hadapan mataku. “Maafkan aku. Mulai sekarang aku janji bakalan berusaha melindungi dan menjauhkanmu dari Mama.”

Tanpa menunggu balasanku, Sarah pergi meninggalkanku seorang diri.

Kadang aku bertanya-tanya mengenai keputusan Tiara menciptakan Sarah dengan kepribadian semacam ini; mudah terenyuh, mencoba menjadi pelindung, dan seperti lampu yang menarik ngengat di malam hari. Apakah ini merupakan harapan Tiara? Dicintai? Bisa dilindungi oleh seseorang? Sampai sekarang pun aku masih merasa bersalah setiap kali teringat tulisan yang ia utarakan dalam buku harian. Betapa sunyi, sepi, dan kosong kehidupan Tiara. Barangkali dia ingin ada satu orang yang benar-benar menginginkannya. Satu individu yang bisa membuatnya memiliki alasan bertahan hidup.

Akan tetapi, sosok penyelamat tidak datang dalam kehidupan Tiara. Aku, yang merasa menjadi orang dekat, pun tidak berhasil menyelamatkan Tiara. Kegelapan dalam diri Tiara seperti lumpur isap. Menelan semua kebahagiaan dan hanya menyisakan kecemasan dan kesedihan belaka.

Oleh karena itu, aku cemas dengan orang yang mudah tertawa. Orang yang bisa menertawakan lelucon apa pun, termasuk yang tidak lucu sekalipun. Selalu memasang topeng kepura-puraan, menolak membagi beban kepada siapa pun, dan memilih melindungi diri dalam pengasingan. Jenis orang yang sulit aku sentuh dan pahami. Satu-satunya kesadaran muncul ketika mereka, orang-orang malang tersebut, telah lenyap.

Aku mencoba menghela napas, menahan rasa sakit dan bermacam pikiran buruk dalam kepalaku. Pada akhirnya aku tidak bisa menemukan bacaan apa pun. Perpustakaan pada hari ini gagal mencerahkan hariku.

Dengan lunglai aku berjalan, meninggalkan perpustakaan, dan berakhir di koridor yang lengang. Romeo duduk di salah satu bangku. Di pangkuannya ada bekal makan siang yang aku buat untuknya.

Iya, kalian tidak salah.

Aku memang memasak untuk Romeo. Berhubung dia selalu mengekori dan membuat kesal diriku, maka aku putuskan mengabulkan permintaannya memasak. Pasti sekarang dia kaget melihat bekal buatanku. Nasi goreng yang aku cetak menyerupai anak itik, lengkap dengan telur dadar, sosis, tomat, dan bakso.

Hehehe puas. Siapa suruh mengekoriku? Sekarang dia akan benar-benar aku jadikan anak itik!

Pelan-pelan aku mengendap-endap, menghampiri Romeo, yang mungkin wajahnya kusut ba....

Atau dia terlihat bahagia sampai ingin terbang ke langit ke tujuh.

Dengan wajah berbinar Romeo menyuap nasi dan telur, lalu dia menghabiskan seluruh bekal dan langsung menutup kotak bekal. Aku terlampau kaget hingga hanya bisa bengong.

“Lho, Laura?”

Romeo, tidak sepertiku, kelihatan senang.

“Yo?” kataku. Aku duduk di samping Romeo dan mulai pura-pura tertarik mengamati dinding dan mungkin pot berisi tanaman palem. “Enak?”

“Makasih. Enak banget.”

Cih dia justru senang. “Biasanya tukang masak dapat gaji.”

“Kamu mau apa?”

Aku memasang senyum sok manis dan menjawab: “Pengin dapat kerjaan, terus ngumpulin uang, dan pergi dari rumah.”

Reaksi Romeo justru tidak semenyenangkan ketika ia tengah memakan masakanku. Sekarang dia terlihat pias. “Kenapa kamu begitu suka uang?”

“Bukan suka,” aku mengoreksi, “tetapi butuh. Aku butuh uang untuk bertahan hidup. Impianku nggak muluk-muluk kok. Cuma bisa tinggal di daerah yang nggak gibah, kerja, dan mungkin jatuh cinta kepada orang yang tepat. Hmmm omong-omong mengenai jatuh cinta, aku nggak bakal berharap besar. Sebab jatuh cinta butuh dua orang yang berada dalam satu frekuensi. Aku pikir menemukan orang yang bisa membuatku satu atmosfer dengannya bukanlah tugas mudah.”

“Jadi,” Romeo menyimpulkan, “kamu perlu uang agar bisa melindungi dirimu sendiri? Begitu?”

“Tepat sekali,” aku membenarkan omongan Romeo. “Kamu tahu, aku pernah baca cerita mengenai sekelompok babi yang pada awalnya berusaha menjatuhkan manusia agar tidak memanfaatkan para hewan. Namun, di akhir cerita justru para babi berkomplot dengan manusia dan menindas hewan lain di peternakan yang tidak sadar bahwa diri mereka tengah dijadikan sebagai sapi perah oleh kelompok babi.”

Kening Romeo mengerut ketika mendengar penjelasanku. “Apa hubungannya?”

“Aku sama seperti para hewan ternak,” jelasku dengan nada riang. “Nggak pandai, tidak tahu cara membaca suasana dan memanfaatkannya, kemudian hanya bisa menjalani hidup seperti ... yah begitulah.”

“Laura, aku bersedia menolongmu lepas dari Klein.” Romeo berkata dengan mantap. “Beberapa tahun lagi aku akan kuliah, serius mengejar karier, dan kamu tenang saja tubuhku pasti bagus!”

“Romeo, aku lupa bilang kalau kepribadian termasuk dalam daftar suami masa depanku.”

“Su-apa? Suami?” Rona merah menjalar di wajah Romeo. Sial! Dia benar-benar telah melepaskan Sarah dan .... oh astaga! Hah masa bodoh! Aku hanya perlu mengumpulkan uang dan kabur.

“Kamu sebaiknya mencoba hubungan dengan wanita lain,” aku menyarankan. “Bila nanti kamu masih berpikir aku sebagai orang spesial, maka ... hmmm mungkin ketika dewasa kita bisa saling mengetahui pertanyaan yang ada pada diri kita masing-masing. Namun, aku nggak jamin bakalan punya rasa yang sama seperti milikmu.”

Romeo mengangguk. “Paham. Aku juga nggak bakalan suka terikat dengan wanita yang nggak suka denganku. Aku nggak mau punya hubungan seperti Mama dan Papa. Bila aku menikah, maka itu haruslah dengan orang yang menyukaiku.”

Hei, kenapa dia bilang kata “menyukai” sembari menatapku penuh harap? Seolah aku bisa memberi jawaban atas kegalauan dalam dirinya. Dih enak saja. Aku punya masalah finansial dan terlalu sibuk memikirkan cara agar tidak mati di tangan Marisa maupun tokoh lain yang mengejar Sarah.

Uang. Tunggu aku. Uang!

“Aku akan mengumpulkan banyak uang,” Romeo menambahkan, seolah bisa membaca isi pikiranku. “Nggak bakal ada yang bisa menyakiti orang terdekatku. Aku jamin.”

“U-uang?” aku membeo. Mengapa rasanya aku melihat lembaran uang bertebaran di sekitar Romeo? Kyaaaa uang! Uang! UANG! Oh-oke, setop. Uang hanya bisa dimiliki ketika aku kerja. Berpikir logis. Logis!

Romeo menampilkan cengiran nakal. “Uang yang banyak.”

Oh sial! Dia tahu kelemahanku!

***
Selesai ditulis pada 22 Juni 2022.

***
Sini saya kabarin hal bagus. Novel khusus cerita Adel dan Morgan sudah ada di Wattpad. Judulnya saya tuliskan di wall pengumuman.

Tolong jangan copy tulisan saya yang mana pun. Please, saya capek.

Salam hangat,

G.C

Lady Antagonis (TAMAT)Where stories live. Discover now