4

15.1K 2.7K 135
                                    

Kamar Laura jauh berbeda dengan kamar milik Romeo. Perbedaannya pun membuatku ingin menggampar Marisa karena pilih kasih dan menyemprot Adam dengan petuah kehidupan lantaran tidak bisa melindungi keponakan dari tangan jahat istrinya. Kamar Laura, untuk ukuran orang yang tinggal bersama konglomerat (katanya), ternyata biasa saja. Cuma ranjang ukuran sedang, satu lemari pakaian, satu meja belajar, dan ada tambahan kamar mandi pribadi. Luas kamarnya pun biasa saja. Kamar Romeo jauh lebih luas daripada kamar Laura.

Pantas saja antagonis lahir. Laura kurang perhatian dan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga TEPAT DI BAWAH HIDUNG ADAM YANG SEHARUSNYA BISA MENCEGAH.

Mbak asisten yang namanya belum aku ketahui telah memberiku handuk dan sebaskom air es. Pelan-pelan aku mengompres pipi yang berdenyut-denyut. Ada cermin di lemari. Sekarang aku duduk bersimpuh di depan lemari sembari memperhatikan bibir kering dan darah.

“Wajah calon model tersia-siakan,” desisku sembari menotol pipi dengan handuk. Kemudian aku menyibak rambut, memperhatikan tanda lahir berwarna merah yang ada di pelipis. “Padahal bentuknya mirip love gini. Nggak buruk.”

Salah satu kekurangan Laura, atau begitulah yang orang pikirkan, ialah tanda lahir di pelipis. Tanda lahir mungil berbentuk hati. Bagiku tanda lahir itu justru tampak menarik dan imut. Mungkin Laura adalah anak pasangan penyihir dan sekarang saatnya menerima surat undangan dari burung hantu. Dengan begitu aku akan meninggalkan kediaman Klein dan beralih profesi dari anak SMA korban kekerasan menjadi penyihir andal-sakti-luar-biasa-keren-banget! Nanti Marisa akan aku guna-guna sehingga terkena sembelit selama sebulan! Makan tuh sembelit! BUWAHAHAHAHA.

Usai mengompres pipi, aku mengecek tanggal dan catatan yang mungkin ditinggalkan Laura. Esok Rabu, berarti aku harus pergi ke sekolah. SIALAN AKU NGGAK SUKA PR. Usai mengerjakan tugas, menyiapkan tas, aku langsung tidur dan mengabaikan panggilan Adam. Dia tidak memaksa masuk dan membiarkanku tidur pulas sampai pagi.

Mau tidak mau aku harus beradaptasi dengan lingkungan. Prinsip hidup di alam liar, bertahan atau binasa. Kampret!

Setelah mandi dan berganti seragam, aku mematut diri di depan cermin. Seragam Laura berupa rok motif kotak-kotak biru muda dan kemeja putih lengkap dengan dasi pita berwarna biru. Laura yang asli pasti tidak mau memperlihatkan tanda lahirnya. Namun, aku berbeda. Dengan bangga aku menguncir rambut menjadi satu dan memamerkan tanda lahir di pelipis yang tampak imut.

Seperti prajurit, aku bersiap menuju medan perang.

Di ruang makan (iya, orang kaya memang beda) Adam, Marisa, Sarah, dan Romeo sudah siap di kursi masing-masing. Biasanya Laura akan memasang tampang masam dan makan dalam jumlah sedikit.

Akan tetapi, aku memilih duduk (tentu saja pilih kursi yang paling jauh dari Marisa. Aku tidak ingin mati tersedak). Meletakkkan ransel di dekat kaki, dan langsung makan. Roti tawar dengan selai stroberi. Tiga potong aku menelannya dengan senyum mengembang. Bodo amat Marisa merengut persis nenek sihir jahat. Aku butuh makan. Aku perlu energi. Sekolah itu benar-benar butuh persiapan energi dan mental.

“Adam,” Marisa memanggil. “Kamu lihat kelakuan keponakanmu? Dia menjijikkan.”

‘Terus saja, Bu,’ sindirku dalam hati.

Adam tidak membalas. Dia justru membiarkanku memakan apa pun yang aku inginkan. Sarah dan Romeo menatapku dengan tatapan aneh, seolah aku E.T dari suatu planet. Usai makan aku mengambil jeruk, memasukkannya ke dalam ransel, dan meraih apel merah.

“Om,” kataku sembari mendekat. “Boleh minta uang saku?”

Marisa mendengking (oke, kasar. But, dia memang cocok berada di bawah kelas gukguk), siap menolak. Namun, aku lekas menyerobot kesempatan Marisa. “Om, aku berangkat naik angkutan umum. Nggak perlu semobil dengan Sarah dan Romeo.”

Yeah, lagian siapa yang ingin menjadi kambing congek di antara mereka berdua? Aku? Idih, amit-amit.

“Laura, Om nggak keberatan ngasih tambahan uang saku,” Adam menjelaskan. Dia meletakkan garpu dan pisau di meja, lalu menatapku dengan senyum penuh pengertian. “Apa nggak seram? Kamu, kan, belum pernah naik kendaraan umum. Lebih baik berangkat sekolah bersama Sarah dan Romeo. Lagi pula, mereka berdua satu kelas denganmu, ‘kan?”

Begini, ya. Adam seharusnya bisa melihat bekas tampar di wajahku. Pipiku masih sakit dan merah! aku perlu mampir ke apotek dan mencari lowongan kerja. Tidak bisa bertahan di rumah yang sebagian orang tidak menghargai kehadiranku. Enak saja. Aku tidak sudi menjalani hidup dalam hina dan siksa.

“Om,” aku memohon, “tolong mengertilah. Aku nggak nyaman semobil dengan Sarah dan Romeo.”

“Anak kurang ajar!” Marisa memekik, meletakkan garpu secara kasar sampai terdengar suara PRAAAK. Aduh, ayo gelut! “Adam, dia minta mobil khusus buat dirinya sendiri.”

“Oh, Tante,” aku mengoreksi. “Aku nggak minta ‘semobil sendiri selamanya seperti sesukamu’. Aku pengin uang saku. Uang saku berupa ongkos, uang makan, dan uang tidak terduga. Ada angkutan umum dan aku bisa berangkat sekolah sendiri.”

Adu pelotot terjadi. Alih-alih balas menyalak, aku memilih pasang senyum dan mencoba merayu Adam agar dapat ongkos.

“Oke,” Adam menyetujui. Dia menyerahkan beberapa lembar uang kepadaku. “Hati-hati.”

Aku mengangguk. “Makasih, Om.” Kemudian lekas pergi meninggalkan ruang makan. Berhubung aku memiliki data dari ponsel milik Laura dan tentu saja informasi novel, dengan mudah aku memilih angkutan dan pergi ke sekolah.

Awalnya aku mengira salah masuk, ternyata memang bangunan sekolah bentuknya menyerupai kantor! Lewat lobi langsung disambut satpam dan anak-anak lain yang sibuk bercakap. Aku melihat denah di dekat mading dan menemukan kelas Laura.

Anak-anak sama sekali tidak peduli dengan kehadiranku. Biasa saja. Mereka terus berbincang dan bertukar cerita. Kursi Laura, dalam deskripsi cerita, ada di barisan tiga dari belakang. Tepat di dekat jendela. Usai duduk aku mengeluarkan buku dan belajar materi mengenai sesuatu yang berhubungan dengan cara hewan menunjukkan kekuasaannya.

OH MY. Sekolah dan PR. Hmm mungkin sebaiknya aku mencari pekerjaan dan mengabaikan sekolah (bila kondisi memburuk). Atau, aku bisa mencari pekerjaan sampingan. Ide bagus.

Romeo bisa saling bunuh dengan kandidat pencari cinta yang ingin mendapatkan Sarah. Aku tidak peduli. Satu-satunya yang terpenting saat ini adalah bertahan hidup dan lekas enyah dari kediaman Klein.

Tidak lama kemudian Sarah dan Romeo tiba. Para cewek langsung kesemsem begitu Romeo masuk. Mereka berkata dengan suara lirih, “Romeo.” Kemudian anak cowok pun melongo memperhatikan Sarah.

Oke, aku tidak penting. Abaikan saja. SIALAN.

Romeo langsung duduk di samping kursiku sementara Sarah memilih duduk di deretan depan.

‘TUNGGU!’ teriakku dalam hati. ‘KENAPA ROMEO DUDUK DI SINI? DI DEKATKU? KURSINYA APA TIDAK SALAH ALAMAT?’

Romeo melempar tatapan bengis kepadaku. Seakan tengah memperingatkan agar tidak berani mengganggu Sarah. Padahal pipiku masih ada plester. Tadi aku sempat mampir ke apotek dan membeli obat serta plester agar pipiku tidak bengkak! Namun, bocah satu ini siap berperang denganku.

Laura pasti mengerut dan gemetar. Aku? HEHEHEHE coba saja.

“Oh, Romeo,” panggilku dengan nada manja yang dibuat-buat. Jangan lupa tersenyum karena senyum baik untuk kesehatan. Aku mengangkat tangan kanan, memamerkan jari tengah kepada Romeo. “Kamu bukan satu-satunya iblis di sini yang mampu aku hadapi setelah Tante Marisa.”

“...”

“Dan aku nggak peduli sama sekali dengan kamu, Sarah, ataupun yang lain,” ujarku, riang. “Hidup nggak berputar di sekitarmu. Oke?”

Hahaha lega! Beginilah seharusnya hidup. Damai!

***
Selesai ditulis pada 18 Juni 2022.

***
Maaf Ruby, Deborah, dan bonus Morgan belum saya tulis. Ini saya pengin menenangkan diri dulu dengan nulis Laura. Entar malam saya coba nulis Morgan. Maaf, ya lama. I love you, teman-teman.

Salam hangat,

G.C

P.S: Tolong jangan copy tulisan saya. Please. Saya mohon.

Lady Antagonis (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang