Chapter 14 : Washington

118 14 0
                                    

𝕳𝖆𝖕𝖕𝖞 𝕽𝖊𝖆𝖉𝖎𝖓𝖌

****

Setelah pertemuannya dengan Aiden, masalah di hidup Zian terus bertambah. Masalah mengenai latar belakang Gio, tes DNA, laporan dari Lee Jun Hyeon yang mengatakan banyak tindakan korupsi di berbagai perusahaan cabang, serta kemajuan dengan kerja sama dengan perusahaan nomor satu di dunia, Zian membutuhkannya untuk bisa mengalahkan Hernandez Compagnie.
Rasanya kepala Zian akan meledak jika terus memikirkannya.

"Nona, lima menit lagi kita sampai di Washington."

Zian mengangguk, setelah pramugari pergi, Zian merapikan barang-barangnya. Dia melihat jam yang melingkar di tangannya, sekarang pukul tiga pagi di Washington.

Perjamuan akan di adakan sekitar dua hari lagi, Zian hanya mempunyai waktu dua hari untuk bertemu orang nomor satu di dunia.

Tapi kabarnya, laki-laki itu mengalami koma selama beberapa tahun, tidak tahu ada apa dengan orang itu. Tapi dia sudah sadar dan kembali menjalankan tugasnya, meski masih dalam pengawasan dokter.

Zian mengembuskan napas lelah, dia melihat kota Washington, kota yang terkenal dengan keindahan desanya.

Setelah pesawat mendarat, dia segera turun. Orang-orang dengan pakaian rapi ber-jas, badan yang kekar, dan kaca mata hitam berbaris dengan rapi. Memberi hormat pada Zian, menuntunnya untuk segera masuk ke dalam mobil limosin yang sudah disiapkan dari beberapa menit yang lalu.

Dua puluh menit perjalanan dari bandara menuju mansion Zian di Washington. Setelah masuk ke dalam rumah, Zian merebahkan badannya di sofa ruang tamu. Suasana yang dingin dan sunyi membuat Zian sedikit lebih santai.

Wanita bersurai putih itu mendengar suara lift yang berhenti. Lampu yang temaram serta mata yang lelah karena kurang tidur membuat Zian tak begitu jelas melihat, dia tidak tahu apakah itu Zavier, Barraq, atau pembantu di mansion.

"Siapa disana?!" teriak Zian.

"Mama?!"

Entah kenapa setelah mendengar suara itu, Zian menegang. Zayn berlari mendekati Zian. Kemudian memeluk kakinya dengan erat.

"Mama, tumben sekali datang begitu cepat?" tanya Zayn mendongak melihat wajah Zian yang masih belum tersadar.

Zian mengedip-kedipkan matanya, sangat jelas jika dia kelelahan dan kurang tidur. Zian berjongkok, mengusap pipi Zayn pelan, memaksakan senyum terbit di wajahnya.

"Ah, tentu saja Mama tidak tahan lama berpisah dengan, Yan."

Zayn tersenyum, kembali memeluk Zian. Kali ini Zian membalas pelukan Zayn. Salah satu alasannya datang lebih cepat meninggalkan pekerjaan yang begitu banyak pun adalah demi bersama dengan Zayn.

"Kenapa pagi-pagi begini sudah bangun, hm?" Zian mengusap rambut Zayn yang sedikit berantakan.

"Yan mau minum, tapi tidak ada air di kamar, jadi Yan mau ke dapur."

Zian tersenyum, dia mengambil tasnya, lalu menggandeng tangan Zayn menuju ke dapur.

"Mau minum susu?" tanya Zian setelah mereka sampai di dapur. Zayn mengangguk. Dengan segera Zian mengambil susu yang ada di dalam kulkas, memanaskannya sebentar sebelum dituang ke dalam gelas.

"Lain kali panggil bibi pelayan atau uncle Barraq, ya."

Zayn meminum susunya, menyisakan setengah gelas. "Yan sudah mengetuk pintu kamar uncle Vier, tapi tidak ada jawaban."

Zian mengembuskan napas lelah, lalu menatap Zayn kasihan. Sepertinya putranya ini terlalu berharap lebih dari Zavier. Ini juga alasan Zian ragu menyerahkan Zayn dijaga oleh Zavier.

"Zavier itu selain jarang menggunakan otaknya, tidurnya juga kayak Beruang yang sedang hibernasi. Susah dibangunkan kalau ngga bangun sendiri."

"Haha ... kalau begitu wajah uncle Vier sangat menolong, yah!"

Zian terkekeh, walau kesannya sarkastik tapi memang ada benarnya.

"Mama, kalau seandainya Papa udah ngga ada, Mama menikah lah dengan uncle Vier. Walau sangat bodoh tapi uncle Vier yang paling peduli dengan Mama."

Zian terkejut dengan ucapan putranya sendiri. Kata-kata yang tidak seharusnya diucapkan anak laki-laki berusia lima tahun.

"Belajar dari mana kata-kata seperti itu, hm?"

"Dari TV!"

"Eh? Siapa yang mengizinkan Yan nonton drama begitu?" Zian menopang dagunya, menatap Zayn yang begitu polos tengah berpikir.

"Uncle Vier!" ucap Zayn dengan lantang dan dengan bangganya. Zian menepuk jidatnya, meninggalkan Zayn dengan Zavier memang kesalahan yang fatal.

"Aish, lain kali tidak boleh menonton film seperti itu lagi, mengerti?!" ucap Zian serius. Zayn mengangguk, dia lalu menghabiskan susunya.

"Baiklah, ayo kembali ke kamar."

Zayn mengangguk, dia dan Zayn akhirnya masuk ke dalam lift menuju ke lantai dua. Zayn kembali ke kamarnya, sementara Zian juga menuju ke kamar untuk beristirahat.

****

Tok.

Tok.

Tok.

"Zian! Aku dan Zayn akan keluar sebentar, kamu mau ikut?"

Zian yang masih tidur lelap di atas ranjang hanya membalas dengan dehaman. Lalu kembali melanjutkan tidurnya.

"Uncle Vier, Mama ngga mau ikut?" tanya Zayn sembari menatap pintu kamar Mamanya. Zavier mengembuskan napas lelah. Dia lalu merubah raut wajahnya menjadi lebih ceria.

"Baiklah, ayo kita saja yang pergi!"

"Baiklah, ayo!!" teriak Zayn dengan semangat untuk berjalan-jalan di kota baru.

Zayn duduk di samping kemudi ketika Zavier masuk ke dalam mobil, mereka berdua meminjam mobil Lamborghini milik Zian untuk berkeliling kota Washington. Lebih tepatnya meminjam tanpa izin.

"Mobil Mama Zian sangat keren, kan Yan?" ucap Zavier dengan bangganya.

Zayn mengangguk, dia setuju Mamanya itu begitu hebat tapi tidak menyukai Zavier yang membanggakan Mamanya seakan Mama Zian adalah milik bersama.

"Uncle Vier! Ayo kita pergi ke perpustakaan." Zayn menunjuk menara yang tingginya melebihi mansion. Saat subuh menjelang pagi usai solat, Zian memberitahukan menara yang berada di tengah kota. Perpustakaan Harry yang terkenal di Washington.

"Ke perpustakaan? Baiklah uncle akan mengantarmu." Zavier melajukan mobil keluar dari garasi meninggalkan mansion.

****


MAMA ZIANWhere stories live. Discover now