"Cemburu, enggak?"
Lingga yang sesekali menanggapi cerita sang Ibu yang tengah sibuk di dalam dapur kotor kemudian menolehkan kepalanya ke arah Lintang. Air wajah Lingga tidak mengerti dan penuh tanda tanya. Namun belum sempat sebuah pertanyaan kemudian terlontar dari mulutnya, Lintang sudah paham tentang apa yang hendak Lingga utarakan, kedua matanya memutar sebal.
"Iya, cemburu. Kamu cemburu, enggak?"
"Sama siapa?"
Lintang mengerutkan dahinya tak habis pikir, sumpah mati ia tidak menyangka malah sebuah pertanyaan itu yang harus ia jawab sekarang, padahal jelas-jelas dirinya yang sedang menuntut sebuah jawaban dari Lingga, mengapa dirinya yang seolah harus menjawab terlebih dahulu?
"Kamu ke temen-temennya Mas Aji, lah!"
"Mas Arsa??" Tanya Lingga lagi, "aku malah bingung kenapa Mas Arsa ada di sini, padahal seharusnya Mas Arsa kuliah, kan? Memangnya kalau Kuliah begitu bakalan lebih banyak waktu senggang, ya?"
"Duh... Ya bukan, Linggaaa..."
"Terus?"
"Temen kerja kelompok-nya Mas Aji, dooong..."
Lingga menghembuskan nafasnya sedikit kasar, "pertanyaanmu enggak bisa lebih berbobot?"
"Berat badanku udah berbobot." Selak Lintang sembari menyuap makan siang, atau sore(?) yang baru saja terhidang di hadapannya sebagai buah karya milik Nyonya Asmarini.
"Masih kecil udah cemburu-cemburuan..." Lingga jelas tidak menghiraukan perasaannya yang berbanding terbalik dengan jawabannya barusan. "Lagipula memangnya aku siapa? Hanya temannya Mas Aji."
"Jadi do'a, lho..." Jawab Lintang menakut-nakuti.
"Sama kayak kamu dan Dyo. Hanya teman..."
"Aku??" Lintang menuding ujung hidungnya sendiri. "Hanya teman??"
"Ya, terus...?" Tantang Lingga. "Masih kecil, Lintang, pikirin pelajaran hitung-hitunganmu dulu, udah bisa atau belum..."
"Aku baru tau kalau pacaran harus pinter ngitung..."
Perdebatan Lingga dan Lintang terhenti karena suara kekehan lembut yang keluar dari mulut Nyonya Asmarini, entah mengapa keduanya seolah melupakan keberadaan Wanita paruh baya itu. Beliau benar-benar tidak menyangka anak tunggal-nya seolah diperebutkan bahkan oleh ketiga Majikan-nya sendiri, padahal tentu saja tidak seperti itu.
Nyonya Asmarini selalu mengajarkan Lingga untuk tahu diri dan tempat, situasi dan kondisi mereka yang terbatas, dan banyak hal lainnya.
Semoga Lingga akan tetap mengingat keinginannya itu, karena tentu saja semenjak kepergian sang Suami, Lingga akan menjadi tanggung jawabnya seorang diri, sebelum tiba saat di mana dirinya yang akan pergi dari dunia ini.
*
*
*
Lingga menyandarkan tubuhnya yang kecil namun sudah lebih tinggi itu pada salah satu permukaan dinding bagian belakang bangunan Rumah Besar Adhiwangsa. Lingga menunggu Ibu-nya yang seharusnya sedang bersiap-siap untuk pulang, karena sengaja sekali ia memang menunggu Beliau agar mereka dapat memiliki waktu lebih banyak dibandingkan selama ini.
Tiada kehadiran sang Ayah membuat Lingga sedikit banyak merasa kesepian.
"'Nak...?"
Lingga cepat-cepat menegakkan tubuhnya, "udah, bu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Glimpse of Heaven : Passé - Koo Junhoe & Kim Jiwon [Completed]
Fanfiction(2) "Kita berpikir sudah baik, tapi Tuhan belum tentu beranggapan demikian, Mas..." "Maksudnya, Lingga?" "Aku mencintai Seseorang yang enggak balas mencintaiku..." Laki-laki manis itu terdiam sebentar, jantungnya seperti ingin meloncat dari tempatn...