Entangled

183 28 21
                                    

Pekan berikutnya, setelah kesehatan Lingga sudah kembali seperti semula, Aji mengajak Lingga kembali bertemu demi menghabiskan waktu bersama. Ia menarik lembut pergelangan tangan Lingga, pada siang beranjak sore itu. Dan Lingga menurut, mengikuti hendak ke mana Aji kemudian membawanya.
Yaitu ke arah pekarangan taman belakang, yang letaknya tak begitu jauh dari lapangan ketika mereka pertama kali berkenalan.

Kebetulan kedua orang tua Lingga sedang menghadiri sebuah acara keluarga sejak kemarin, dan belum juga pulang hingga sore ini, maka Aji kembali mencetuskan sebuah pertemuan agar dirinya tidak perlu mati gaya.

Mati gaya di sini maksudnya adalah, Lintang sedang keluar bersama teman-teman sekolahnya.
Bunda juga masih sama seperti kemarin-kemarin, yang tak pernah mau melepaskan Dyo untuk menghadiri kesibukan Artis-nya seorang diri padahal tubuh Beliau saja belum sepenuhnya pulih.
Serta Ayah yang pasti sedang menikmati pekan sibuknya bersama para kolega di area hijau dan bermain golf.
Sudah biasa.

Lingga mendapati sebuah trampolin berwarna hijau ke-abu-abu-an telah terbentang lebar-lebar di hadapan mereka. Kemudian Aji membantu Lingga untuk naik ke atas benda tersebut terlebih dahulu, sebelum akhirnya ia pun berusaha naik dengan usahanya sendiri. 

Air muka Lingga berseri. Dengan ketinggian yang tak seberapa, ia telah dapat melihat jajaran perumahan di dalam jarak yang cukup jauh, lengkap dengan semburat sore berwarna orange yang membuat pemandangan pada sore itu terlihat semakin indah.

"Aku baru ini naik trampolin." Kata Lingga sekedar memberitahu Aji bahwa ini pengalaman pertamanya.

"Kamu suka, Lingga?"

Lingga menarik nafasnya dalam-dalam, membaui udara hangat sore itu yang berangsur lebih sejuk, sebelum menghembuskan nafasnya dengan sangat perlahan.

"Suka."

Menyenangkan...

Aji tersenyum puas. Ia kembali menemukan sebuah perasaan dihargai, atas perbuatannya yang tak seberapa.
Namun Lingga dapat membuat segalanya terasa menjadi kebalikannya.

"Mas Aji sering di sini?"

Aji menganggukkan kepalanya. "Kalau lagi capek latihan, aku ke sini cuma buat tiduran. Sampai ketiduran, malah." Jawabnya.

"Sampai malam?" Tanya Lingga lagi.

"Iya."

"Banyak nyamuk, padahal..." Lingga menyipitkan kedua matanya sebagai sebuah reaksi heran.

Aji tertawa pelan. "Memang. Tapi masih lebih baik daripada harus terus-terusan di ruangan tertutup, seperti di kamar. Bosan." 

Lingga mengatupkan kedua bibirnya.
Tadinya ia hendak bertanya, mengapa Aji bisa merasa bosan padahal tempat tinggalnya sangat lah megah? 
Lingga juga tahu bahwa Aji memiliki dua orang adik, lalu mengapa Aji bisa merasa bosan?
Sedangkan dirinya yang merupakan anak tunggal saja, bahkan bisa terus-terusan mengurung diri di rumah walau hanya seorang diri, dan tanpa pernah merasa bosan sedikit pun.
Namun Lingga memilih menelan segala pertanyaan yang tiba-tiba muncul begitu saja dari dalam kepalanya.

"Pantes kalau kulitmu gelap..." Lingga menyentuh lengan Aji tanpa segan menggunakan jari telunjuk kanannya. "Tapi Mas Aji bisa olah raga, sedangkan aku mentok cuma bisa jogging."

Aji terkekeh lembut. Lalu ia memperhatikan kedua lengannya bergantian dengan seksama. "Gelap banget, ya, kulitku?"

Lingga menganggukkan kepalanya. "Tapi sehat." Ralat Lingga cepat-cepat agar Aji tidak menjadi salah paham atas kalimatnya yang tanpa filter. Mulutnya itu memang masih saja lancang dan tidak tahu tata krama.

Setelah beberapa saat, Aji bergerak sedikit menjauh dari Lingga yang sedang meluruskan kedua kakinya. Dengan sebuah ancang-ancang, Aji kemudian merebahkan tubuhnya begitu saja di samping Lingga. Ia lalu menutup kedua matanya dengan sangat nyaman, dan merasakan betapa tubuhnya memang sangat pegal dikarenakan jadwal latihan-nya yang mulai menguras lebih dari setengah tenaga yang ia miliki.

Glimpse of Heaven : Passé - Koo Junhoe & Kim Jiwon [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang