BAB 35 - END

36.1K 2K 123
                                    

Puspa kecil pernah bertanya kepada ayah, tentang makna sebuah keluarga. Dan ayah menjawab, keluarga adalah tempat dimana kita bisa berlindung dari ketidaknyamanan dunia. Jika keluarga tidak memiliki fungsi itu, lalu apa kita menyebutnya?

Mungkin itu ujian, jawab ayah Puspa.

Dan setelahnya, keluarga yang ia miliki, satu-satunya tempatnya berlindung tak lagi berdiri tegak. Rumah Puspa roboh, meninggalkan Puspa yang kesepian di dalamnya.

Ada banyak hal yang Puspa lalui tapi ia bersyukur karena masih bisa berdiri menatap dunia dengan kedua kakinya sendiri.

Malam ini, Puspa dewasa duduk di ayunan kayu belakang rumahnya yang memiliki dua muka. Bisa melihat kedepan dan juga memiliki dudukan untuk melihat pemandangan dari arah belakang.

Puspa melihat ke arah belakang rumah yang sedang menampilkan kelap kelip lampu kota dari jarak jauh.

Setiap malam, ia sering menghabiskan waktunya di sini jika kedainya sudah tutup. Kadang, Puspa merasa kesepian. Dia butuh ramainya lampu kota untuk sekedar menunjukan bahwa dia tidak sendiri di bumi ini.

Puspa menyeruput es kopi dingin mililknya saat merasakan kehadiran seseorang selain dirinya di taman ini. Meskipun membelakangi, tapi dari aroma parfum yang masih teringat dengan jelas di otak Puspa menciptakan sebuah kecanggungan di tubuhnya. Ada debar tak menentu hanya dengan menyapu aroma parfum yang sangat ia kenal itu.

Malam memang dingin dengan detak jantung Puspa yang semakin berdebar cepat saat merasakan langkah kaki mendekat.

Puspa menghembuskan nafas dalam lalu mengeluarkannya dengan pasrah. Dia menanti apapun yang akan ia hadapi malam ini.

Saat laki-laki itu sudah mendudukan tubuhnya di ruang tersisa ujung kursi ayunan, Puspa semakin merasa tercekat. Arya duduk dengan begitu menawan, mengenakan pakaian kasual dan sweater yang terlihat hangat.

Lama menjeda, keduanya tak ada yang berniat membuka suara. Mereka berdua memilih untuk menikmati pemandangan kota Bandung dengan bunyi angin yang mendesau dari balik pepohonan.

"Aku minta maaf karena masih terus ingin menemuimu." Arya memulai pembicaraan meskipun Puspa tidak mempersilahkan.

"Aku memang se-tidak tahu diri itu karena tetap menunjukan batang hidungku di hidupmu."

Puspa tak berniat menanggapi, wanita itu hanya sesekali menyesap es kopinya yang sebenarnya sudah tandas sejak tadi.

"Aku sudah mencoba, sesuai keinginanmu. Aku belajar untuk hidup di dalam keluarga kecilku, tapi nyatanya sulit. Aku tetap kalah."

"Aku tak pernah sedikitpun mencari tahu tentangmu, tapi pada akhirnya aku tetap memutuskan untuk melepaskan keluargaku. Bukan hanya aku, Ivy pun melakukan hal yang sama. Sejak kejadian dua tahun lalu ia mengalami keguguran, dan setelahnya wanita itu berubah menghindariku dan berakhir dengan kami yang tak lagi bisa berjalan berdampingan. Aku sudah bercerai dari Ivy."

Meskipun kalimat yang Arya ucapkan sangat berpengaruh besar, tapi Puspa membiarkan Arya mengucapkan apa yang ingin ia sampaikan. Tak ada interupsi sedikitpun dari Puspa karena wanita itu hanya berniat mendengarkan.

"Kamu tidak perlu khawatir dengan Axel. Kami berjanji untuk tetap menjadi sebuah keluarga yang utuh untuk Axel."

"Bii," panggil Arya saat tak mendengar satu kalimat pun dari bibir wanita itu. Arya menelisik ke arah wanita yang masih mengunci bibirnya rapat-rapat. Puspa bahkan sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya dari arah kota Bandung.

"Aku tahu, aku memang tidak tahu diri karena masih mengharapkanmu. Setelah perceraian terjadi, aku mulai membenahi diriku sendiri, lalu mulai mencari keberadaanmu. Saat mendapatkan kabar pernikahan Raka, rasanya masih tetap sama, sakit. Maaf jika kemudian aku senang, saat mendengar jika mempelai wanita-nya bukanlah dirimu."

Kamu yang kusebut RUMAH (Gratis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang