BAB 4 - Tertahan.

19.9K 2.4K 8
                                    

"Kontraknya satu tahun dan jika resign sebelum masa kontrak selesai maka akan dikenakan pinalty, Kak."

"Berapa?" tanya Puspa mencari tahu.

"Jumlah bulan yang ditinggalkan dikali gaji pokok. Kak Puspa kemarin tertulis gaji pokok empat setengah juta ya? Jadi kalau kakak mau resign bulan ini, pinalty-nya sekitar lima puluh empat juta."

Oke! Puspa menghembuskan nafas beratnya perlahan. Uang lima puluh empat juta bukan uang yang sedikit bagi Puspa, meskipun ia punya tabungan tapi tentu tidak sebanyak itu. "Terima kasih informasinya," ucap Puspa sambil tersenyum ramah.

Ia permisi keluar dari ruangan lalu berjalan ke arah sisi lain kubikel. Puspa berhenti di balkon yang berada di sisi kanan gedung. Sebuah tempat tersembunyi yang ia temukan saat melarikan diri sari serangan panik, meskipun dia tetap berakhir di toilet karena dianggap lebih tertutup. Jika diteliti lebih lama sepertinya balkon ini sudah jarang terjamah, sepi dan berantakan. Puspa mendudukan tubuhnya di sebuah kursi usang yang warnanya mulai pudar. Tatapan matanya kosong menatap ke arah jalanan kota Jakarta yang padat dan langit biru yang terlalu jauh untuk digapai.

Kalian belum tentu akan bertemu lagi, dia berada jauh diatasmu Puspa. Akan sangat jarang berinteraksi masalah pekerjaan.

Puspa mengingat kalimat yang disampaikan dr. Tesa, psikiatri yang selama ini selalu membantu Puspa mengatasi masalah panik yang sering menyerang. Seharusnya dia akan mudah menjadi tidak terlihat di hadapan Arya, seharusnya posisi mereka yang jauh berbeda akan mampu menyembunyikan Puspa. Hanya satu tahun dan Puspa akan kembali mencari pekerjaan lain. Dia tidak mau mengganggu Arya dan keluarganya. Dia tidak mau menganggu kenangan yang sudah ia kunci rapat-rapat di dalam hati.

Hot daddy anak satu.

Puspa memejamkan mata, teringat saat Ayuk mengatakan fakta itu dengan jelas. Arya sudah beristri, tidak seharusnya ia mengusik. Toh, belum tentu juga Arya masih mengingatnya? Puspa tidak cukup berharga untuk diingat sebagai seorang yang layak untuk dikenang. Puspa tersenyum tipis merutuki kebodohannya. Yaa, semuanya akan baik-baik saja. Puspa cukup untuk menjadi tidak terlihat di depan Arya dan semuanya akan baik-baik saja.

Ia berdiri lalu melangkahkan kakinya dengan pasti ke ruang kerjanya.

"Lo kemana saja kemarin?"

Ayuk menarik tubuh Puspa tiba-tiba, membawanya menepi ke sisi kanan lorong yang ia lewati untuk menuntut penjelasan.

"Gue sakit, kemarin gue ke dokter. Sorry."

"Sakit apa?" tanya Ayuk khawatir.

Puspa menelisik ke arah temannya. Ayuk dan Puspa tidak terlalu dekat sewaktu kuliah, mereka hanya teman biasa. Apakah Ayuk bisa dipercaya? Tentu saja jawabannya tidak.

Tidak ada yang bisa Puspa percaya selain dirinya sendiri. "Sakit asam lambung," jawabnya bohong.

"Udah baikan sekarang?"

"Lumayan, gue udah dapet obat."

Ayuk masih menautkan kedua alis sambil menunjukan raut wajah permusuhan. "Lo juga pagi ini nanya tentang pengajuan resign ke Mba Tata! Kenapa sih lo Puspa? Gue udah ngerekomendasiin lo di sini, jangan bikin gue kecewa dengan resign di bulan pertama kontrak."

Puspa diam mendengarkan celotehan Ayuk yang kemungkinan masih panjang.

"Kalau lo nggak suka kerja di sini kenapa nggak mengundurkan diri waktu magang? Lagian juga pinalty-nya mahal kalau lo keluar sekarang. Dan—."

"Ssttt! Gue nggak akan resign dan gue masih butuh duit, Ayuuuk. Ayo sekarang kita kerja."

"Lo bikin gue khawatir tahu nggak sih!"

Kamu yang kusebut RUMAH (Gratis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang