Bab 12: Waiting For You Like a Fool

Start from the beginning
                                    

"Ca, gue minta maaf buat yang beberapa hari ini gue sering nyuekin lo. Gue seharusnya banyakin kasih lo perhatian dan ga ngilang gitu aja." Kata ku lirih.

"I know right. It's not your fault. Gue minta maaf udah nolak lo kali itu. Kalo gue terima, gue mungkin ga tersiksa lagi. Pasti bakal ada jalan untuk kita, Sas." Jawab Caca sambil memegang tanganku. Aku tersenyum simpul.

"Awas lo ngilang ngilang lagi. Gue gaplok lo." Kata Caca sambil menghapus air mata nya.

Sesudah itu, kami menghabiskan makanan kami, talk about our future, talk about our past, talk about everything that possible.
Aku mengantar Caca pulang, barulah setelah itu, aku pulang ke rumah.

Tepat di pertengahan malam, aku baru sampai ke rumah. Aku melihat Monra tidur di sofa tanpa menggunakan selimut. Kasihan sekali ia menunggu ku. Terkadang aku kesal dengan tingkah Monra yang mengekori ku seperti anak kepada induk. Tapi tak sesekali, aku kasihan melihatnya. Tidak ada tempat untuk tinggal dan tidak ada seseorang untuk diandalkan. I'm sorry, Mon.
Aku mengambil selimut dan menyelimuti Monra yang tengah tertidur. Tanpa sadar, aku menatap wajahnya lama sambil mengusap usap kepalanya. Lalu aku menyadari bahwa tindakanku ini sudah tidak normal. Aku menghentikan tanganku dan pergi membersihkan diri untuk tidur.

Monra's POV

Sinar matahari yang kuat menusuk di mataku yang memaksa aku untuk membuka mata ku. Aku melihat kondisi tubuh ku yang terbalut selimut di atas sofa. Bagaimana bisa aku disini?
Setelah lama mencerna perkataan, aku meregangkan tubuhku lalu berjalan menuju dapur untuk membuatkan Sastra sarapan. Aku memasak air telebih dulu kemudian bergegas ke kamar Sastra untuk membangunkan nya.
Baru saja ku langkahkan kaki untuk masuk, ternyata tidak ada satu wujud pun yang hidup di kamar itu. Sastra tidak ada di rumah. Aku mengecek jam dinding yang menunjukan ini sudah pukul 9 pagi. Sastra tidak makan apa apa pagi ini. Bisa jadi sudah makan di kantor atau sebagainya dengan Caca.

Duduk pelanga pelongo saja ternyata bisa membuat waktu mendadak menjadi pukul 3 sore. Seharusnya Sastra sudah pulang. Seharusnya..

Benar saja, tak lama setelah prasangka ku itu, akhirnya Sastra sampai di rumah. Ia bahkan tidak menatap mata ku dan langsung pergi masuk ke kamar nya. Terdengar sedikit suara riuh dari kamarnya. Setelah 15 menit, tiba tiba Sastra keluar dengan pakaian yang rapih, bersih, wangi, dan kumisnya yang dia cukur. Ia langsung keluar saja dari rumah sambil membanting pintu seperti anak kecil. Apa apaan?

**************************************

Seminggu berhembus sudah. Sifat Sastra yang semakin hari semakin menjengkelkan sudah membuat darahku mendidih. Dia tidak melihat mata ku, apapun yang ku masak tidak ia makan, membanting pintu, keluar tanpa izin. Akhirnya, aku mempunyai ide untuk membuat ia bicara.
Pada saat Sastra mandi, aku mengambil kunci rumah dari kantong celana nya. Aku langsung mengunci pintu depan, pintu samping, bahkan pintu belakang.

Aku duduk manis di atas sofa sambil menikmati program TV kesukaan ku, yaitu sinetron. Sastra melewati ku dengan perfume yang menyala terang dan bergerak menuju pintu. Ia kesulitan membuka pintu yang sudah ku kunci. Seperti cacing kepanasan, ia mengobrak abrik seisi rumah untuk mencari kunci nya. Di tengah kesibukan nya itu, aku memunculkan diri.

"Mon, liat kunci rumah ga?" Ketusnya.

"Mana gue tau." Jawabku tak kalah ketus.

"Siapa lagi kalo bukan lo yang pegang kunci? Buruan sini gue mau pergi." Kata nya dengan emosi yang meluap.

"Ngga. Kunci nya ga bakalan gue kasih selagi lo ga mau kasih tau lo pergi sama siapa!" Jawabku akhirnya mengaku.

"Tuh kan bener. Bukan urusan lo gue mau pergi sama siapa."

"URUSAN GUE!" Teriak ku.

Sastra datang mendekati ku sambil menunjuk nunjuk wajahku dari jarak 8 cm. Aku menepis tangan nya.

"Lo udah berani ya sekarang nunjuk nunjuk gue." Kata ku dengan suara bergetar menahan tangis.

"Gue gamau tau, kalo lo mau pergi, lo harus pamit sama gue. Terserah lo mau bilang 'eh anjing! gue mau pergi dulu.' Tapi lo harus pamit!" Kata ku dengan ari mata yang menetes lalu pergi ke kamar ku meninggalkan Sastra.

"Oh iya satu lagi. Gue gasuka lo memperlakukan gue seperti gue numpang di rumah ini! Kalo lo pengen gue pergi, gue pergi. Tapi tolong kasih gue kejelasan!" Kata ku tepat di ambang pintu kamarku.

Aku merebahkan tubuhku sambil menatap langit langit kamar. Air mata ku berderai sambil melihat ke atap atap kamar. Aku seringkali menangis tanpa sebab karena membuat keputusan bodoh menikahi Sastra. Dia seperti membunuhku perlahan lahan.

Author's POV

"Sorry, Ca. Gue gabisa hari ini. There's a lil bit problem and i hope you understand." Kata Sastra sambil gelisah menatap ubin rumahnya

"O-o-kayy... tapi gue kaget aja kenapa mendadak banget." Jawab Caca jelas lebih bingung.

"Monra... Monra sakit. Gue harap lo paham kenapa gue gabisa pergi." Kata Sastra entah bagaimana ia terpikir tentang jawaban itu.

Jauh di dalam lubuk hati Sastra, ia berusaha membangun citra yang bagus di depan orang tentang rumah tangganya, ia seringkali bohong tentang itu. Tapi sama saja, apa yang dilakukan nya dengan Caca justru membuat semua ini terasa tak benar.
Sementara itu di sisi lain, Caca kebingungan mencerna perkataan Sastra.

"Monra? Sakit?" Kata nya bingung.

"Ga ga ga ga! GAMUNGKIN! Kalo si cewe SMA itu beneran hamil, gue sama siapa nanti nya?!?!"

"Jangan sampe dia jadi queen control nya Sastra. Gue ga segan segan mau ngapain dia!"

Caca bergumam sendirian. Seiring derai derai hujan yang jatuh, langitnya pun ikut jatuh. Caca tak menyukai apabila Sastra dimiliki orang lain, tapi ia tidak sanggup menggenggam Sastra.

He's Into His Pariban Where stories live. Discover now