Bab 11: Kebimbangan Sastra

121 10 0
                                    

Malam kembali terlewati. Tetapi sekarang, aku benar benar tinggal hanya berdua dengan Sastra. Beda rasa nya pada saat tinggal di rumah Pak Siagian. Sebab, Pak Siagian terkadang mampir untuk mengambil pakaian untuk inang (Mama Sastra). Sedangkan sekarang, hanya berdua dengan Sastra tinggal di lingkungan asrama militer. Kujelaskan sedikit, lingkungan nya tepat di lokasi tempat berdinas Sastra. Kami bertetangga dengan anggota militer yang sudah berkeluarga juga.
Syukurnya, kami tidak tidur di dalam satu ranjang. Sastra benar benar menyandang status pria nyinyir. Tak hanya pada saat 'hidup' ia mengomel, pada saat tidur saja dia sering meracau diikuti dengan dengkuran yang berisik.
Ditambah, Sastra itu bukan laki laki sejati! Dia membiarkan ku tidur di kamar yang dekat dengan jendela yang menghadap ke jemuran halaman belakang. Suasana malam yang menakutkan ditambah dengan udara yang panas membuat aku terpaksa membuka jendela tersebut semalam.

Aku melakukan aktivitas seperti biasa nya. Pukul 4 pagi aku sudah bangun untuk menyiapkan sarapan, memasak nasi, menjerangkan air, dan membersihkan kamar mandi yang lama tak dipakai. Setelah selesai, aku berjalan menuju kamar Sastra untuk membangunkan nya.

"Bangun bangun." Kata ku santai sembari mengguncang guncang badan nya sedikit.

Sastra membuka mata nya perlahan dan bergerak meninggalkan kasurnya. Salah satu kesamaan kami adalah, kami tipikal morning person.

"Kalo sarapan masak nya yang biasa aja, Mountea. Tempe kek, telor kek, atau mie instan." Kata Sastra sambil duduk di kursi makan.

"Eh itu tu makanan yang gaada nutrisi nya. Lo juga udah ada duit. Udah berapa kali gue bilang, jangan pelit soal makanan." Jawabku sambil mencentongkan nasi.

Sastra hanya diam dan menikmati suapan pertama dari ayam goreng ungkep buatanku

"Enak ga?" Tanya ku penasaran.

"Enak." Jawab Sastra sambil mengunyah.

Aku hanya tersenyum senang.

"Kok bisa masak ini semua? Bangun jam berapa?" Tanya Sastra.

Aku kemudian bercerita panjang lebar tentang semua nya. Sastra hanya mengangguk anggukan kepala nya sambil menikmati makanan. Lagi lagi, percakapan hanya berhenti begitu saja. Entah begitu saja tiba tiba signal di otak ku menyuruh aku untuk membuka topik.

"Lo pinter kan?" Tanya ku sembari sedikit menyindir.

"Iyalah! Ga kayak lo. Gue dulu pas SMP juara olimpiade IPS, pas SMA gue PPI Kota, terus pas pendidikan,"

"Ssstttt. Diem diem diem. Gue ada pertanyaan. Lo ga bakal bisa jawab!" Kata ku memotong pembicaraan Sastra.

"Dih. Siapa takut. Apa coba?" Jawab Sastra merasa tertantang.

"Tangis, tangisan apa yang enak di dengar." Tanya ku dengan wajah belagu dan pede.

"Tangis bahagia?" Jawab Sastra pede.

"Salah. Nyerah?"

"Ngga ngga ngga. Gue ga nyerah. Manisan? Soalnya kan enak terus kayak plesetan dari tangisan. Bener ga?"

Aku tertawa terbahak bahak, lalu berkata. "Manisan enak di lidah. Bukan enak di denger. Gimana sih. Ayo nyerah ya buruan."

"Iya gue nyerah. Apa jawaban nya?" Tanya Sastra mati penasaran.

"Tangisan bayi baru lahir." Jawab ku sambil tertawa terbahak bahak dengan lelucon ku yang lucu.

"Dih. Kok gitu?" Sastra mengeyel.

"Iyalah. Bayangin ya, kalau kita punya anak. Terus anak nya ga nangis. Mak bapak nya pasti panik lah. Dikira anaknya ada kelainan atau apa gitu. HUUUU. Pinteran gue dari pada lo."

He's Into His Pariban Where stories live. Discover now