"Aku ngerti, kamu pasti ngerasa nggak enak."

"Rasanya aku serba salah banget, nih."

"Kamu juga tega sama diri sendiri."

Bia menyetujui ucapan Ersa dengan satu anggukan. Ia menatap Noah yang sekarang mendongak ke arahnya. Wajah lugu, pipi tembam, dan hidung mungil itu membuat Bia lagi-lagi gemas, diciumnya pipi Noah berkali-kali. Setidaknya karena ada Noah ia bisa sedikit beristirahat.

"Kamu cocok jadi ibunya," komentar Ersa.

"Padahal aku ngerasa nggak bakal bisa jadi ibu yang baik semisal aku punya anak nanti."

"Aduh, kamu ini kenapa mikir begitu?" Ersa menepuk-nepuk tangan, lalu beralih meraih Noah dari Bia. "Setiap orang yang menikah itu pengin punya anak, tujuan mereka menikah juga selain karena ibadah, sudah pasti mau memperbanyak keturunan. Iya, kan, Noah? Aduh, gantengnya." Gadis berambut hitam legam curly menjuntai itu langsung mencium gemas pipi Noah. "Mamamu ini terlalu over thinking."

Suara gelak tawa mereka pun memenuhi rumah minimalis tersebut. Bia lega hari itu bisa sedikit bersantai karena berkas yang akan diserahkan kepada Pak Danang sudah siap semua. Tinggal bertemu besok dan harapannya adalah tidak banyak yang direvisi lagi. Bia merasa ada angin segar yang berembus, tujuannya selangkah lebih dekat.

-oOo-

Kejadian yang sama terulang lagi. Noah menangis tepat di jam satu dini hari. Bia terjaga lagi dan membuat susu formula tanpa bantuan Rafli. Hal yang lagi-lagi bikin Bia jengkel adalah ketika Rafli beranjak dari kasur dan membawa bantal, pindah ke kamar tamu.

Noah masih terjaga, tetapi kali ini tidak menangis. Sementara mata Bia sudah kurang dari lima watt. Berkali-kali ia mengubah posisi. Dari yang duduk di kursi rias, pindah ke sofa, selonjoran di lantai dan sekarang duduk di sisi ranjang.

"Noah, tidur di kasur aja, ya" kata Bia sambil bergerak meletakkan Noah di ranjang, tetapi bayi itu merengek dan menangis pelan.

Terpaksa Bia harus menggendong Noah lagi. Punggung Bia kebas, pun segera bangkit dan mulai menyanyikan lagu pengantar tidur untuk Noah, nina bobo. Mata Noah masih terjaga dan Bia mendadak merasa pusing, juga kantuk makin menjadi. Ia menengok ke arah pintu, berharap Rafli dan datang dan membantu.

"Andai kita beneran punya bayi dan kamu kayak gini ...." Bia tidak sanggup melanjutkan kalimat. "Noah, tidur di kasur, ya." Dia berusaha selembut mungkin, serupa seorang ibu sungguhan.

Dengan hati-hati Bia bergerak ke arah kasur dan meletakkan Noah di sana. Seolah mengerti, kali ini Noah tidak menangis. Ada senyum terbit di bibir Bia. Ia mulai merebahkan diri di samping Noah dan menepuk-nepuk paha bayi tersebut. Bukannya Noah yang tertidur, tetapi Bia yang nyaris lelap.

Berkali-kali Bia terkejut saat kaki Noah menyenggol tangan. Ia menengok jarum jam, pukul setengah tiga. Bia melihat Noah yang mulai memejam dan beberapa detik ke depan, bayi itu sudah lelap dengan mengemut jempol sendiri. Bia tersenyum lega dan ingin tidur lagi.

Suara pintu yang dibuka membuat Bia memejam kuat. Saat itu dia tidak mau menatap Rafli. Perasaannya masih jengkel setengah mati. Pura-pura tidur dan abai akan kehadiran Rafli.

"Bi?" Rafli tahu-tahu sudah duduk di pinggir kasur, di belakang Bia. Menyentuh lengan istrinya yang justru tidak direspons. "Bi, maaf."

Barulah Bia mengalah, lalu berbalik. Wajah Rafli yang sarat akan rasa bersalah membuat mata Bia mendadak panas. Dari tadi menahan diri untuk tidak menangis karena sikap Rafli. Perempuan itu pun bangkit dan terisak. Sudah pasti suaminya terheran-heran.

"Kamu, ya! Bikin orang kesel aja," ketus Bisa sambil mendorong lengan Rafli. "Pergi aja sana! Tidur di kamar tamu, di luar, atau di mana pun kamu mau."

"Iya, maaf. Aku nggak bisa tidur di sana. Maafin aku, tadi harusnya aku nggak bersikap begitu." Namun, perkataannya tidak direspons. Bia masih sesenggukan dan dengan lembut Rafli menyeka air mata istrinya. "Jangan nangis! Sekarang istirahat, udah mau Subuh."

"Kamu sengaja menghindar, ya?"

"Maafin aku."

Bia hanya mengangguk dan meraih selimut karena udara menjelang pagi sangat dingin. Sebelum beranjak tidur, Rafli mendekat dan mengecup lembut bibirnya. Bia tersenyum kecil, menepuk-nepuk bantal di dekat Noah agar Rafli tidur di sana.

"Besok aku beli tempat tidur buat Noah," kata Rafli, "aku cemburu liat Noah tidur dekat kamu."

Bia hanya terkekeh dan mengangguk kecil karena ucapan suaminya.

-oOo-

"Raf, aku terlambat!" Bia turun tergesa-gesa dari lantai dua. Rafli di meja makan tengah mengoles selai. Untung saja Noah belum bangun. "Harusnya janji jam delapan, tapi ini udah mau jam sembilan. Pak Danang berangkat jam sepuluh ini."

"Coba kamu hubungi dulu."

Bahu Bia melorot turun saat berjalan gontai ke arah pantry. Rafli langsung menyodorkan selapis roti. "Nggak bisa. WhatsApp Pak Danang nggak aktif. Kayaknya aku harus nunggu sampai satu minggu lagi."

Bia tampak begitu kacau, Rafli mendekat dan berusaha menghiburnya. Dia tidak mau ada keributan setelah berbaikan dini hari tadi. Sambil menepuk-nepuk puncak kepala Bia, Rafli berkata, "Nggak apa-apa, Sayang. Tunggu aja, jadi kamu masih punya waktu buat memperbaiki apa yang perlu diperbaiki. Siapa tahu setelah ini Pak Danang langsung nggak ngasih revisi lagi. Kamu bisa daftar seminar secepatnya."

Bia meraih pinggang Rafli dan melingkarkan kedua lengannya di sana. Kepalanya bersandar di perut sang suami, memudahkan Rafli untuk mengusap kepala.

"Proposal kamu gimana?"

"Aku udah ketemu Pak Ridho kemarin. Katanya udah oke, kayaknya bulan ini bisa daftar seminar."

Kontan saja Bia meloncat kecil dari kursi pantri. Senyum sumringah dihadiahi untuk Rafli. Tatapan yang meminta penjelasan lebih dibalas satu anggukan takzim oleh suaminya. Bia menghambur ke pelukan Rafli.

"Makanya kubilang jangan buru-buru."

"Aku turut senang, Raf."

"Nggak ada sayangnya?"

Bia terkekeh dan memang menyadari sangat jarang mengatakan hal-hal seperti itu pada Rafli. "Iya, suamiku tersayang. Aku senang banget dengernya! Aku sayang kamu."

"Mau makan malam di luar?"

"Em, boleh. Tapi, apa uang kita masih ada?"

"Masih. Nanti juga pasti ditanya Papa, kok. Kalau udah menipis, Papa pasti bakal bertindak. Kamu jangan kayak orang susah."

Begitu Rafli melepas pelukan mereka, Bia tercenung sesaat. Mereka masih sangat mengandalkan orang tua Rafli untuk saat itu. Terlebih Rafli. Rafli anak bungsu yang sedikit manja. Apa-apa, uang Papa. Sedikit-sedikit, minta uang Papa. Mendadak Bia takut kalau nanti mereka sudah lulus dan tidak ditanggung lagi oleh orang tua Rafli. Bia berharap saat itu mereka sudah memiliki pekerjaan.

"Raf?" panggil Bia, "nanti uangnya dicek dulu, ya."

Hi, Onders!

ओह! यह छवि हमारे सामग्री दिशानिर्देशों का पालन नहीं करती है। प्रकाशन जारी रखने के लिए, कृपया इसे हटा दें या कोई भिन्न छवि अपलोड करें।

Hi, Onders!

Siapa yang ngeselin sebenernya nih? 😄

See you😉

Kami Pasutri√जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें