∆10. [--] |Heaven Light I🐾|

0 0 0
                                    

♦Vote, Coment, and Follow ♦
Spam (🐾) banyak-banyak🔥
- Happy Reading ♣ -
.
.
.
∆3. Heaven Light.
🐾

-¹-

Tidak ada yang spesial di rumah Kakek. Kesunyian dan kehampaan tertera jelas menyentuh relung hatiku. Disini, di kamar yang di nobatkan menjadi kamarku, aku melamun. Rumah kakekku mempunyai 4 kamar pribadi dan 1 kamar tamu. Yang mana hal nya, salah satu dari kamar pribadi adalah milikku. Ketika keluargaku menginap atau berlibur di rumah Kakek, ibuku akan tidur di salah satu kamar pribadi deretan ke 4 dari kiri. Ya, kamar pribadi sengaja di buat secara berderet. Dan kebetulan kamarku berada di deretan ke 2 dari kiri, tepat sebelah kamar Kakek-Nenek. Untuk kamar pribadi deretan ke 3, di tempati oleh Rengga, letaknya di sebelah kanan kamarku.

Rumah kakekku tidak terlalu besar ataupun mewah. Rumahnya sederhana atau classic, tetapi terkesan elegan. Dinding luar sengaja tidak di chat. Batu bata berwarna merah yang di pernis menjadi mengkilat adalah dinding bagian luarnya. Berbeda dengan dinding bagian dalam rumah, dindingnya di chat putih.

Untuk sampai ke bangunan rumah, harus melewati gerbang. Setelah melewati gerbang yang berdiri menjulang nan kokoh, akan di suguhkan dengan berbagai pohon. Seperti: pohon mangga, jambu, nangka, alpukat, pisang, kelapa, dan masih benyak lagi. Setelah melewati rimbunnya pohon-pohon, barulah di suguhkan dengan bangunan rumah yang tidak bertingkat.

"Huft.. apa ini sudah waktunya?"

Menggelengkan kepala dan mulai berpikir keras mengenai resiko jika aku memulai di usiaku yang belum matang. Tapi, sebuah teka-teki besar menanti di depanku. Apakah aku harus menunggu satu tahun lagi? Sedangkan teka-teki itu semakin mendekat ke arahku?

Umurku memang masih belia, aku akui itu. Tapi tidak menutup kemungkinan jika aku mampu memecah teka-teki itu. Sesuatu membutuhkan ku dan menungguku. Haruskah aku tetap diam saja disini menunggu tahun berganti? Masih sekitar enam bulan lagi usiaku bertambah lebih tua. Bukankah enam bulan bukan waktu yang singkat?

"Sepertinya, ini memang sudah waktunya."

Setelah ku ingat-ingat lagi, kakek tak pernah menuntut atau memberi tahuku tentang 'kapan aku bisa memulai (?)'. Beliau hanya memberiku ribuan teka-teki yang terus saja menghantui ku. Itu artinya, aku tidak terikat aturan bukan? Ah, senangnya.

"Baiklah, akan ku mulai." Aku bangkit dari ranjang dan membernarkan pakaianku yang sedikit kusut. Sekarang yang menjadi pertanyaan, 'teka-teki mana yang harus pertama kali ku pecahkan?'. Ugh, bukankah itu cukup menyulitkan mengingat bahwa banyaknya teka-teki yang di bebankan untukku?

"Eh, tanggal berapa sekarang? Tanggal memulai misi harus ku tandai!"

Netraku berkeliling mencari kalender yang mungkin ada di dalam kamarku. 2 menit ku habiskan untuk mencari-cari kalender yang ternyata tidak ada. Pembantu yang biasa membersihkan rumah Kakek tidak meletakkan kalender baru di setiap kamar.

Alhasil aku memutuskan untuk melihat ponsel ku yang sedang ku charger. Mataku melotot sempurna. Aku tidak menyangka ternyata aku sudah menjadi benalu di rumah Kakek selama 3 hari. Dan, kenapa waktu terasa lebih cepat dari biasanya? Apa karena aku hanya menghabiskan waktu untuk melamun?

"Tanggal 15, tepat dimana Festival Semangat tengah berlangsung..."

-²-

Geledek menggelegar menggetarkan tanah. Petir serta kilat-kilat menyambar bersamaan dengan gemuruh hujan yang begitu deras. Badai kencang ikut membantu kawanan temannya untuk berusaha menggetarkan dunia. Meski nyatanya, hal itu hanya terjadi di atas kamar Quenky-yaitu aku.

Ku tutup kedua telingaku dengan telapak tangan ketika suara mendengungkan menghantam gendang telingaku. Seakan-akan hendak menusuk dan menghancurkan gendang telingaku. Mataku terpejam rapat. Ketakutan besar menghantuiku. Ini aneh. Aku tak pernah mengalami hal semacam ini sebelumnya. Terlebih, semua yang ku rasakan hanya terjadi di atas atap kamarku.

Ku buka mataku kembali, menggerakkan leher kesana kemari guna melihat sekitar. Mulutku terbuka hendak menyuarakan kata-kata. Namun, itu sia-sia. Tak ada suara yang berhasil keluar dari bibirku, hanya berupa gestur mulutku yang bergerak. Tangan yang masih berada di kedua telingaku semakin ku tekan ketika suara-suara menggelegar semakin keras. Hingga sebuah cahaya tiba-tiba menyentak tubuhku ke dinding.

Cahaya itu, aku yakin bukan cahaya biasa. Bagaimana caranya sebuah cahaya bisa menyentak ku ke dinding? Aku merasa ada sesuatu yang mendorong tepat di dadaku, membuat napasku sesak seketika. Aku meringkuk bersandar pada dinding di belakangku. Ketika kepalaku mendongak, cahaya berbentuk awan itu melayang di hadapanku.

Tunggu?! Berbentuk awan? Dan, bagaimana cahaya bisa di kendalikan?!

Batinku terus bertanya histeris. Sedangkan aku hanya bisa memandang cahaya itu dengan lemah. Tak ada binar cerah dari sorot mataku. Yang ada hanya.. sorot keputusasaan dan pasrah.

Mungkinkah ini akhir dari hidupku?

Atau, aku harus bertahan demi keluargaku? Temanku? Dan bahkan.. teka-teki itu?

Aku tersentak sadar dari lamunanku ketika cahaya itu menghantam kuat pipi sebelah kiriku. Tanganku terangkat lemas memegang pipi yang terkena bekas tamparan. Tidak sakit, juga tidak nyeri. Seluruh tubuhku terasa mati. Aku tak merasakan tanda-tanda kehidupan dalam tubuhku.

Apa aku mati?

Dan sekarang, aku tengah menjadi ruh yang bergentayangan?

Tidak, tidak!

Aku menatap tajam cahaya di hadapan ku ketika sebuah kekuatan menuntunku untuk melawan. Hal itu membuat cahaya awan sedikit bergerak keatas, mungkin bisa di katakan gerakan angkuh dan erotis? Uh, aku tidak bisa membayangkan jika cahaya itu memiliki paras manusia. Pasti cahaya itu sangat arogan jika benar-benar hidup menjadi manusia.

Aku menumpu badanku dengan kedua tangan yang terkepal mengarah ke lantai. Mencoba bangkit hanya dengan bantuan kepalan kedua tangan dan kaki yang lemas tak berdaya. Dalam hati aku terus merapalkan doa. Yang ingin ku lakukan hanya satu, membalas perbuatan kurang ajar yang di perbuat cahaya itu. Jika tadi dia menghantam dadaku satu kali, aku akan menghantam bagian tengah dari bentuk awan itu sebanyak dua kali lipat. Begitu juga dengan tamparan di pipi kiriku tadi, cahaya itu juga harus mendapatkan nya. Tak peduli jika cahaya itu bukan manusia sekalipun.

Netra hitam terangku menyorot tajam ke arah cahaya yang tampak berdiam dengan tenang. Surai rambut coklat gelap milikku bergerak-gerak terkena hembusan angin ketika aku sudah berdiri tegak. Ekspresi ku datar dengan tatapan tajam yang terus ku layangkan.

"Kau tahu apa kesalahan mu?" tanyaku sarat dengan nada dingin.

"Apa?"

Aku menyeringai ketika mendapati respon-nya yang kelewat santai itu. Dengan perlahan tapi pasti, aku melangkah mendekat ke arahnya. Seringai mengerikan terus terpatri di wajahku yang kotor akibat debu. Cahaya itu mengangkat bagian atasnya seakan menantang, membuatku semakin geram dibuatnya. Kedua tanganku terkepal kencang di sisi samping tubuhku.

Iris mata hitam terangku perlahan memudar dan berubah menjadi sedikit keunguan. Bukan ungu Amethyst, melainkan ungu gelap. Siapa saja pasti akan takut ketika melihat perubahan iris mata secara tiba-tiba.

Aku sendiri pun sama, tetapi tidak sadar dengan keadaan. Tanganku terulur kedepan. Sebuah bola angin terbentuk di telapak tanganku yang kotor. Awalnya kecil, lama-lama bola angin itu semakin besar. Dan dalam sekali hentakan telapak tangan yang ku arahkan pada cahaya itu, bola angin meleset berusaha melukai sang lawan.

Bersamaan dengan itu, teriakan kencangku menggema di setiap sudut kamarku. "BAHKAN MAKHLUK SEPERTIMU PUN, TAK KAN KU KASIHANI?!!"

-⁹-³-

- Sekian -

♦Vote, Coment, and Follow ♦

Sangkyu

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EARTHQUAKE: The Unraveling of Artificial City Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang