FO : Chapter 2

70 8 10
                                    

Interaksi — Tulus

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Interaksi — Tulus

🎧🎧🎧

Seorang perempuan terlihat sedang duduk di salah satu kursi yang ada di kantin. Dia menghitung pendapatan yang ia terima hari ini, dan seketika senyumnya mengembang. Binar mata yang ia pancarkan, tak bisa menutupi rasa senang di hatinya. Hasil yang ia dapat hari ini ternyata cukup lumayan, bisalah untuk membayar SPP nya selama satu bulan. Perempuan dengan ikat rambut berwarna hitam itu memasukkan uang ke dalam saku baju putihnya, lalu kemudian beranjak menghampiri Mami.

"Mami serius kan udah ambil bagiannya Mami? Soalnya ini uangnya banyak banget," tanya perempuan itu sekali lagi hanya untuk memastikan.

"Serius, Ran. Hari ini emang dagangan kamu lumayan laku. Apalagi risolnya, katanya makin enak."

"Mami makasih ya. Mami kayak ibu kedua aku," kata Rana tulus. Mimik wajahnya tak bisa bohong kalau dia benar-benar beruntung mengenal ibu penjaga kantin.

Semua berawal dari Rana yang membawa dagangan ke kelas. Beberapa hari berlangsung memang berjalan dengan lancar. Meski ia membawa dalam jumlah sedikit, namun sebelum bel masuk saja dagangannya sudah ludes dibeli oleh teman sekelasnya. Sampai suatu ketika, sekolahnya menetapkan peraturan jika tidak boleh ada murid yang berjualan di area sekolah, dengan alasan takut kantin sekolah menjadi sepi. Ya memang benar sih, orang yang berjualan di kantin kan hitungannya menyewa lapak dan mereka harus membayar tiap bulan, otomatis kalau pendapatan kantin berkurang, kantin sekolah juga bisa tutup. Mendapati hal itu, pihak sekolah memberi keringanan untuk para murid menitipkan barang dagangannya ke kantin atau koperasi sekolah, lalu menetapkan bagi hasil. Beruntungnya, Rana sering membeli es good day di kantin Mami, sampai-sampai wanita paruh baya itu hapal dengan dirinya. Alhasil, dia memutuskan untuk mempercayakan Mami menjual makanan buatannya.

Rana menutup box plastik yang tadi ia bawa. Melihat kotak bening itu yang kosong, membuat wajahnya berseri-seri. Dengan langkah lebar, ia segera menuju ruang tata usaha. Ia sudah ada janji dengan guru TU, dan tidak lain tidak bukan pasti untuk membahas tunggakannya. Perempuan itu mengetuk pintu lebih dahulu, baru kemudian masuk ketika mendengar suara yang memperbolehkannya untuk masuk. Ia duduk di kursi yang tepat berhadapan dengan gurunya.

"Rana, SPP kamu udah dua bulan, dan biaya daftar ulangnya masih kurang satu juta. Jadi, kapan orang tua mu mau melunasi?" Meskipun ucapan Bu Tantri terdengar lembut, tapi jujur saja, Rana tetap merasa dag-dig-dug ser. Bahkan, tanpa sadar, kini tangannya berkeringat, padahal ruangan ini ber-AC. "Bu, mama saya bilangnya tanggal 25. Tapi, hari ini saya bayar SPP nya satu bulan. Bisa kan, Bu?"

"Bisa. Ya sudah, uang ini Ibu catat untuk bulan kemarin ya. Kamu tunggu di sini, biar ibu cetak bukti pembayarannya dulu."

"Baik, Bu." Rana tersenyum getir sembari memilin ujung rok nya. Ia ingin menangis sekarang. Rasa sedih, malu, tidak enak, semua melebur jadi satu. Semua yang ia rasa, ia simpan rapat-rapat sendirian. Sejak kecil, Rana hanya di didik untuk menjadi tangguh. Dia merupakan anak pertama perempuan yang terlahir dari keluarga biasa saja. Mentalnya seolah di gempur setiap hari untuk membangun bahu yang lebih kokoh.

Mama nya selalu bilang agar ia bisa terus bersabar dan tetap kuat. Tapi, bukankah ia hanya manusia biasa yang tak bisa selalu kuat setiap waktu. Rana menghela napas berat untuk mengusir rasa gusarnya. Dari sekian banya murid, rasanya hanya dia yang sering kali bolak-balik ke TU hanya untuk urusan administrasi sekolahnya yang menunggak.

"Ini bukti pembayaran untuk bulan kemarin. Tolong sampaikan ke orang tua mu untuk segera di lunasi ya. Ibu sudah berusaha sebisa Ibu agar kamu tetap bersekolah, dan Ibu takutnya ketika tengah semester nanti, kamu tidak diberikan nomor ujian karena tunggakan yang ada."

"Baik, Bu. Maaf ya, Bu, kalo Rana sering ngerepotin Ibu," tuturnya sopan. Kalo bukan karena Rana sering masuk sepuluh besar dan juga attitude-nya yang baik, mungkin ia sudah di keluarkan dari sekolahnya sejak beberapa bulan lalu. Tapi, sisi positif nya adalah, karena keadaan yang terbatas, membuat Rana jadi tidak berani bertindak neko-neko dimana-mana. Ia cenderung bersikap patuh, karena merasa jika ia tak punya kuasa apapun untuk menolak segala sesuatu.

Saking larutnya dalam pikiran sendiri, dia sampai tak menyadari jika ada bola basket yang melambung ke arahnya. Kejadian itu berlangsung cepat, ketika sebuah bola basket terlempar tepat mengenai kening perempuan itu. Beruntungnya ia tidak pingsan di tempat, meskipun benturan itu terasa cukup kencang, namun tetap saja itu mampu membuat kepala Rana pening. Matanya menatap punggung kokoh yang sedang menunduk untuk mengambil bola basketnya.

"Kalo jalan, jangan bengong," tegur cowok yang kini berdiri di hadapannya. Tubuhnya yang tinggi, membuat Rana, mau tak mau, mendongakkan kepalanya untuk melihat wajah cowok itu. Satu cowok lain tiba-tiba menyusul.

"Gue kavi."

"Dia cuma mau modus sama lo. Kenalan sama gue aja, Helyaza, biasa di panggil Yaza. Gue salah satu cowok yang masuk feeds instagram cogantrikota alias akun yang posting cowok-cowok ganteng di SMA 3 Kota," jelas cowok yang tadi tidak sengaja melempar bolanya ke arah Rana.

Rana mengerutkan kedua alisnya, merasa aneh. Melihat dua orang cowok yang tiba-tiba berdiri di hadapannya sembari mengulurkan tangan mereka masing-masing. Rana tahu siapa mereka. Orang yang sering melakukan aksi saling tonjok di lapangan sekolah. Tapi, yang tak Rana mengerti, kenapa mereka tiba-tiba memperkenalkan diri?

"Misi ya," tutur Rana sopan. Tubuhnya yang mungil, melewati tubuh kekar keduanya. Tak peduli dengan tatapan mereka yang terlihat seram.

Sepeninggalan perempuan bertubuh mungil itu, Yaza melempar bola basketnya ke arah dada bidang Kavi. Beruntungnya cowok itu memiliki reflek yang bagus.

"Ini gue di lewatin gitu aja? Uluran tangan gue, nggak di bales sama dia. Cih, yang bener aja." Yaza berdecih dan uring-uringan sendiri. Ia bahkan menatap tak percaya, punggung perempuan yang sudah hampir sampai di gerbang sekolah.

"Gara-gara lo, nih! Kenalan udah kayak mau daftar bansos, lengkap bener." Kavi mengembalikan bola basketnya kepada Yaza, lalu cowok itu segera berlalu menuju parkiran sekolah. Sekitar sejam yang lalu, mereka berdua memang sudah janjian untuk menunggu Rana di lapangan sekolah.

Kaki panjang Kavi, tiba-tiba terhenti kala menatap perempuan yang masih setia berdiri di samping pagar sekolah. Dia bimbang, apakah ia harus menawarkan tumpangan? Itung-itung mencuri start dari Yaza. Namun, melihat gelagat Rana yang seperti sedang meenunggu seseorang, ia jadi mengurungkan niatnya. Penasaran, siapa yang Rana tunggu. Dia mengambil posisi duduk di atas motornya sembari mengintai lewat spion motornya. Sekitar sepuluh menit berlalu, sebuah motor beat berwarna putih-biru, ada di depan Rana. Samar-samar, Kavi mendengar pembicaraan antara seorang wanita paruh baya dengan perempuan mungil itu.

"Ma, lama banget."

"Iya, tadi Mama nganterin tetangga ke kecamatan dulu. Kakak udah nunggu dari tadi?"

"Nggak, baru kok. Ya udah, ayo pulang."

Kavi hanya bisa melongo. Jadi, Rana masih suka di antar-jemput Mama nya? Ya meskipun itu terlihat seperti hal yang wajar, tapi di saat kebanyakan teman perempuannya rata-rata pulang-pergi bersama pacar atau membawa motornya sendiri, membuat Kavi merasa syok berat. Kok masih ada ya, anak yang sedekat itu dengan ibu nya. Tak ingin ambil pusing, Kavi pun menaikkan standar motornya, lalu menarik gas nya untuk melaju menuju rumah.

***

Hai, apa kabar kalian? Aku kembali membawa RaKaZa. Cocok gak singkatan mereka bertiga?😂 semoga kalian suka dengan part ini ya.

Jangan pupa buat vote dan spam next atau spam ❤️ di sini biar aku semangat update.

Untuk spoiler cerita selanjutnya atau konten tentang mereka bertiga bisa cek di:
instagram; @tulisandrea

Sampai ketemu di part selanjutnya ya❤️❤️
— Drea 🦋

Fight OverWhere stories live. Discover now