Bagian Satu

6 2 2
                                    

Namanya Gian, umurnya masih tujuh tahun dan bermain adalah hobinya. Gian selalu melakukan hobinya itu dengan kakaknya, Revan, yang usinya terpaut tiga tahun dengannya. Mereka akan bermain bersama di rumah setiap siang setelah pulang sekolah, sama seperti kali ini.

"Ma, Pah," ucap Gian sembari menghampiri kedua orang tuanya yang sedang santai menonton televisi di ruang tengah.

"Iya, Nak. Kenapa?" sahut Mama dengan sangat lembut.

"Kakak sudah pulang belum?"

"Sudah kok," jawab Mama sembari memberikan senyumnya.

"Yes, Kakak sudah pulang," ucap Gian sangat bergembira mengetahui kakaknya sudah pulang.

Gian pun kemudian berlarian kecil meninggalkan kedua orang tuanya yang sontak tersenyum melihat ekpresi Gian yang sedang bahagia, karena Revan: kakak sekaligus teman bermainnya sudah di rumah.

"Kak Revan, Kak, kakak," sahut Gian sambil mengetuk pintu kamar kakaknya itu.

Setelah mengetuk beberapa kali, Revan pun membuka pintu kamarnya, tak lupa juga ia menghadirkan senyuman dalam wajahnya, walau ia terlihat keletihan setelah sepulang sekolah.

"Kenapa Gian?" Tanya Revan.

"Kita main yuk, Kak," pinta Gian.

"Mau main apa memangnya?"

"Hmm..." Gian diam sesaat, memikirkan akan bermain apa dengan Revan.

"Bagaiman kalau main petak umpat?" Celetuk Revan.

"Yaa. Iya Kak," Gian mengangguk, "ayo kita main Kak," ucap Gian dengan begitu bersemangat.

"Oke, ayo." Revan mengangguk lalu menutup pintu kamarnya.

Mereka berdua pun langsung begegas menuju ruang tengah, tempat di mana kedua orang tua mereka sedang bersantai. Setibanya di ruang tengah, mereka berdua berhenti di salah satu tiang yang berada tidak jauh dari sofa.

"Kamu jaga duluannya. Habis itu baru kita bergantian," ucap Revan.

"Oke Kak." Gian mengangguk, sepakat dengan kakaknya, bahwa pada dipermainan pertama dirinya yang berjaga terlebih dahulu, sedangkan Revan akan bersembunyi.

Setelah sepakat, Gian langsung menghadap ke tiang. Ia melipat kedua tangannya, lalu menyembunyikan wajahnya ke arah tiang.

"Aku hitung ya, Kak...Sepuluh..sembilan,"

Revan mulai melangkah, menjauh dari Gian, mencari tempat persembunyian.

"Delapan..tujuh.."

Revan masih berkutik di ruang tengah, melirik ke segela arah. Revan masih belum mendapatkan tempat persembunyian.

"Pelan-pelan dong hitungnya, Gi," pinta Revan.

Gian tertawa mendengar permintaan kakaknya, dan ia pun memperlambat hitungannya.

"Yehh, enggak bisa dong, kak, wleee," ucap Gian sambil tertawa kecil.

Melihat kedua anaknya sedang bermain, Ayah dan Mama ikut tertawa.

"Enam..lima," Gian melanjutkan menghitung mundur.

"Revan," panggil Ayah dengan suara seperti berbisik, "sini. Bersembunyi di sini," Ayah menunjuk di bawah meja.

Revan mengangguk, tersenyum, kemudian langsung bergegas bersembunyi di bawah meja.

"Empat..tiga," ucap Gian sambil tertawa.

Ayah memberikan kode kepada Revan untuk tidak bersuara.

Revan mengangguk, mengiyakan permintaan ayahnya yang perlahan menyembunyikan tawanya, seperti mama yang juga menahan tawa, karena membantu Revan.

"Dua..Satu! Sudah Kak? Sudah kan?" Ucap Gian sambil menahan tawanya. "Kalau begitu, sekarang aku akan buka mata ya."

Gian membuka mata, membalikan badannya menghadap ke arah televisi. Sejenak suasana pun lengang seketika. Tak ada yang bersuara, selain suara televisi. Gian memperhatikan sekeliling, melihat ke segala tempat yang kemungkinan menjadi tempat persembunyian kakaknya itu. Gian menghela napas kecil, mengumpulkan semangatnya untuk mencari Revan.

"Hati-hati Kak Revan, Gian sudah mulai mencari," ucap Gian dan kakinya mulai melangkah. Akan tetapi, arah yang dipilih Gian salah. Dia berjalan ke arah tangga.

Melihat Gian yang salah arah, Revan dan yang lainnya pun tertawa kecil hingga menarik perhatian Gian. Gian pun reflek membalikan tubuhnya kembali ke arah ruang televisi. Akan tetapi, yang didapati Gian hanya kedua orang tuanya yang sedang berpura-pura megomentari berita di televisi.

Akting Ayah dan Mama sangat sempura, Gian tidak menaruh rasa kecurigaan. Gian kembali menghela napas, dan kemudian ia kembali berbalik ke arah yang salah dan mulai melangkah.

Setelah Gian menjauh, Ayah, Mama dan Revan langsung bernapas lega, lalu tertawa kecil. Namun, ayah kembali memberika kode dengan tangannya untuk tidak kencang-kencang tertawanya.

Di sisi lain, Gian masih fokus mencari Revan di rumahnya sendiri yang sangat luas ini, bak sebuah istana. Gian sudah memasuki dapur, kamar mandi, kamarnya sendiri, kamarnya Revan. Hampir setengah luas rumahnya sudah dikelilingi. Namun, Gian masih belum menemukan Revan, yang sejatinya bersembunyi di bawah meja di ruang tengah, tempat mereka memulai permainan.

Tidak berhasil menemukan Revan, Gian kembali ke ruang tengah dan wajahnya sedikit lesu.

"Kakak ketemu enggak?" Tanya Mama.

Gian menggelengkan kepalanya, "Mama sama Ayah lihat enggak?" Gian bertanya balik.

"Enggak, ayah enggak lihat. Kamu coba carinya pelan-pelan dan teliti dong," Ayah cekikikan menahan tawa.

Melihat itu semua, Revan yang ada di bawah meja, yang jaraknya tak lebih dari lima langkah pun cekikikan menahan tawa.

"Coba kamu cari lagi sana, pelan-pelan mencarinya, dan teliti," Ayah menunjuk matanya dengan kedua jari telunjuk.

Gian menghela napas, kembali mengumpulkan semangatnya.

"Oke, Gian akan cari lagi," ucap Gian dengan semangat yang telah kembali.

Gian kembali melangkah, tapi ia masih di ruang tengah, ia memfokuskan dirinya untuk mencari Revan di ruang tengah.

"Kak Revan...kamu di mana, kak?" ucap Gian sambil mencari.

Dan tiba-tiba Gian menghentikan langkahnya. Gian tersenyum. Gian melihat ada yang mencurigakan. Gian melihat ada sepatu Revan, mencuat keluar dari kolong meja.

"Haaa!!" Gian berteriak, menunjuk ke kolong meja, "Kak Revan di bawah meja," ucap Gian, dirinya berhasil menemukan Revan.

Sontak, suasana yangtadinya lengang pun langsung mencair. Ayah dan Mama ikut tertawa bersama Gian. Dan,begitu pula dengan Revan, meskipun ia berhasil ditemukan, ia juga ikut tertawa.

Last ManWhere stories live. Discover now