Bab 10: Having Fun

Start from the beginning
                                    

"Oke penumpang, duduk manis di belakang." Perintahku dan dituruti Sastra untuk duduk di bangku belakang.

"OKE. MELUNCURRR." Kata ku.

Aku langsung mengayuh sepeda.

"Erghhh." Aku mengerang di ayuhan pertama. Bagaimana tidak? Sastra ternyata berat sekali.

"Kok lo berat banget si? Kebanyakan dosa sih lo." Kata ku sembari mengayuh sepeda yang tidak kunjung bergerak.

"Yakin masih mau yang ngayuh, Wahai orang terkuat sedunia?" Jawab Sastra meledek sambil tertawa.

Ia menyuruhku turun dan pada akhirnya, dia yang membonceng aku menyusuri jalanan Bogor yang tengah ramai pengunjung juga.

"IIIII ADA ES KRIM! MAUUUUU, SASSS." Teriak ku semangat karena di pinggir jalan ada stan es krim.

"Lo ga liat Bogor dingin? Gila lo mau makan es krim." Jawab Sastra menolak.

Aku menepuk pundak Sastra berkali kali dengan keadaan dongkol. Sembari menyoraki nya pelit berulang kali. Setelah mengatakan itu, tampaknya telinga Sastra panas dan akhirnya menuruti permintaan ku.

"Awas aja lo pilek demam sampe dirawat. Gue buang lo ke siring." Kata Sastra sambil menyerahkan es krim yang ia beli.

"Ngga bakal. Makasih, Om." Jawabku berterima kasih.

"Ssssttt, ntar orang kira gue melihara lo. Najis najis najis." Kata nya risih.

Aku tertawa dan berulang kali memanggilnya dengan sebutan 'om' supaya ia terganggu. Kalau Sastra marah, alisnya memerah dan hidung mancungnya yang kembang kempis. Oleh sebab itu, terkadang aku suka melihat Sastra mengomel kecil.

Sastra Hamonangan's POV

"HADOHHHHH INI UDAH JAM BERAPA KITA GA GERAK GERAK." Gerutu Monra sambil menggaruk kepala kepalanya.

Aku rasa, bukan hal baru di kota besar jika kemana mana harus menghadapi kerubunan manusia. Lain hal nya dengan Monra, ini kali ke 5 dia mengeluh terus terusan kepada hal yang tak dapat aku ubah.

"Tidur aja. Gausah berisik!" Kata ku kesal.

"Gue ga bisa tidur di mobil stella jeruk lo ini." Jawabnya tak kalah emosi.

"Yaudah terus harus gue apain? Yakali pengharum mobil gue, gue sangkut jigong lo disini!? Aneh aneh aja." Kata ku dongkol.

Monra mengambil Stella Jeruk (pengharum ruangan) dan mencampakkan nya ke belakang tempat barang barang di letakkan. Ada beberapa hal yang aku kesalkan dengan Monra. Ia egois dan menganggap hal hal pasaran seperti itu adalah hal biasa. Padahal, hal hal seperti ini membuat ku jengkel.
Aku coba menenangkan diri dan memilih untuk tidak marah dengan anak kecil ini. Terlebih lagi, aku takur terjadi hal hal yang tidak diinginkan.

Setelah 15 menit, akhirnya kami jauh dari pusat kota. Kami tiba di pinggiran kota yang mana daerah itu tempat ku bangun rumah impian ku. Impian kita. Dulu.
Aku memarkirkan mobilku di pekarangan rumah itu. Lalu aku keluar dari mobil dan menumpukan tanganku diatas mesin mobil sembari melihat rumah itu.

"Eh kita udah sampe? Wowww rumah nya keren banget." Suara Monra menyambar ke telinga ku.
Dengan sembrono, ia menggerakkan badan nya untuk masuk ke dalam rumah itu. Dengan sigap, aku menarik lengan nya.

"Yok pulang." Kata ku pasrah.

"Mau pulang kemana lagi?" Tanya nya penasaran.

"INI BUKAN RUMAH KITA. INI RUMAH GUE DAN CACA!" Jawabku emosi.

Monra tampak terdiam seperti sudah tau. Tapi dia tau darimana? Aku menepis pikiran itu. Bisa saja ia terdiam karena dimarah, seperti yang biasa ia lakukan.

"Ooh yaudah. Yok balik." Kata nya sembari tertunduk dan menatapku sesekali.
Tanpa disuruh, ia langsung masuk ke mobil.

Selama di perjalanan, Monra hanya terdiam. Aku bingung. Dia ini apa? Sebentar diam, sebentar ribut, sebentar baik. Ah entahlah! Jika aku sempat, aku akan membawa nya ke psikiater!

"Caca siapa?" Tanya nya memecah keheningan.

Aku menghela napas panjang. Sudah saatnya dia tau.

"Dara Soegiharto. My first love." Jawabku terus terang.

"Dara Soegiharto. Lo panggil Caca. Ga nyambung." Kata Monra tiba tiba bengis.

"Caca itu kependekan dari 'cantik'. Cuz she's the prettiest girl i know." Jawabku lirih sembari menatap jalanan yang seakan akan ada bayangan nya Caca.

Monra memberikan tatapan menyelidik. "Terus kenapa kalian berdua ga nikah aja?" Tanya nya lagi.

"Beda agama, keluarga gue juga kurang suka sama dia, kecuali Kak Alina. Mereka cocok soalnya." Jawabku jujur. Karena menurutku, sudah saatnya Monra tau.

"Yaudah kenapa lo galau? Kalian ga bakal bersama, terus ga bakal nikah. Ga guna!" Respon Monra tak terduga.

"Bukan ga bakal nikah. Tapi bukan sekarang. Setelah gue ngelepas lo dan acara Saur Matua beres," perkataan ku terpotong.

"Kenapa? Mau cerai? Gila lo! Di Kristen ga boleh cerai. Kecuali dipisahkan oleh kematian. Itu udah beda cerita. Ga malu lo sama Tuhan? Barusan aja mendeklarasikan sumpah pernikahan. Ini mau ngelanggar lagi!" Celetuknya.

"Heh, lo jangan nambah nambah beban pikiran gue. Lo lupa perjanjian kita di awal? Mau gue palsuin kematian lo kek atau gue... gue.." Kata ku kebingungan.

"Apa? Apa?! Bingung kan lo." Kata Monra dengan nada yang nyolot.

"Argh! Gue pusing! Pokoknya, gue ngelakuin segala cara supaya gue bisa bareng sama Caca." Jawabku skakmat dan membungkam mulut Monra.

Monra Damanik's POV

Aku pura pura terkejut saja perihal Caca. Sastra mengatakan hal itu seakan akan aku tidak tau apa apa tentang begitu cinta nya Sastra kepada Caca Cici Coco atau apalah itu! Begini ya, dengan apa yang ia miliki sekarang, bagiku tak masuk akal jika Sastra masih mencintai cinta pertama nya. Apalagi dia mulai alay ngebahas Caca langsung sok Inggris!
Benar benar menjijikkan! Apa yang dimiliki Caca sehingga Sastra berani mematahkan sumpah sakral yang baru kami buat di hadapan Tuhan berapa hari yang lalu?
Tersadar, bahwa hubungan ku dan Sastra hanya sebatas kertas. Hanya pada perjanjian yang hanya kami berdua yang mengetahui nya. Entahlah, aku hanya tak sanggup membayangkan kehidupan yang terjadi setelah aku dan Sastra berakhir. Tapi setidaknya, aku mendapat uang kan? Ya benar! Uang.

Hanya uang...

He's Into His Pariban Where stories live. Discover now