BEAST 1

299 19 2
                                    

“Alat vitalnya hilang.” Rafael menghampiri kaptennya dengan wajah ngeri yang tergambar jelas. Matanya bahkan tidak bisa memandang Elea, sang kapten, yang sedang berbicara dengan polisi patroli. Tangannya terkepal dan kaku menggantung di sisi tubuh, seolah ia sedang menahan sesuatu.

“Alat vital? Maksudmu jantung, ginjal atau hati?” tanya Elea tidak terlalu memahami apa yang Rafael katakan. Suara-suara ribut dari belakangnya juga membuat kalimat Rafael sedikit samar didengar. Ia melempar senyum pada polisi patroli yang sedari tadi dengan sabar menjawab semua pertanyaan. Lantas menoleh pada anak buahnya yang terlihat pucat. Dahinya berkerut dan beragam jenis tanya muncul di kepala.

“Anu, itu ...”

Kapten perempuan itu memandang dan menanti dengan rasa tidak sabar. Dahinya semakin berkerut melihat tangan Rafael yang terlihat ingin menutupi selangkangan. Namun, belum sempat ia melontarkan pertanyaan meminta penjelasan, Clovis datang menghampiri mereka dan langsung melengkapi potongan pazel terakhir.

“P*n*snya dipotong oleh pembunuhnya,” kata Clovis. Nada suaranya santai, selaras dengan ekspresi wajahnya yang datar. Berbanding terbalik dengan ekspresi Rafael yang mendadak merasa paranoid.

“Aku ingin lihat.” Saat tiba dilokasi, yang pertama kali Elea perhatikan adalah keadaan di sekitar korban. Membiarkan Clovis melakukan tugasnya lebih dulu sebagai seorang dokter forensik.  Hanya melihat sebentar korban yang posisinya sengaja dibuat seolah ia sedang tertidur dengan tangan terlipat di atas perut.

No,” tolak Clovis dan menggerakkan kakinya satu langkah ke samping. Menghalang jalan Elea. “Tidak cocok dilihat oleh gadis perawan sepertimu.”

Elea terdiam selama beberapa saat, memandang Clovis dengan ekspresi menahan tawa. Ia menggulung lengan kemeja putihnya dan memosisikan tangannya di belakang, mengambil sikap istirahat. Kepalanya sedikit ia miringkan ke kiri. “Maaf, Tuan Clovis Craig Conor, aku kepala tim kalau kamu lupa. Jadi, bisa minggir?”

Aura permusuhan mengudara, membuat siapa pun yang ingin mendekat memilih mengurungkan niatnya. Rafael yang sudah terlanjur terjebak di antara kapten dan wakilnya yang terkenal dengan aroma perang dingin, diam-diam mengambil ancang-ancang untuk pergi.

“Dia sudah mati lebih dari delapan jam yang lalu,” ujar Clovis saat melihat Elea mulai menggerakkan kakinya. “Ada bekas sayatan dalam di leher bagian bawahnya. Juga, jasadnya sudah dalam perjalanan ke kantor.”

“Brengsek!” Dengan satu umpatan jengkel, Elea berbalik dan melangkah membelah kerumunan warga ingin tahu tanpa hambatan. Diikuti oleh Rafael yang langsung berlari mengejar.

Sementara Clovis yang ditinggal hanya memandang punggung dua rekannya dengan dingin. Berdecih. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celana dan berjalan menuju mobilnya yang terparkir tepat di luar pita kuning. Ikut meninggalkan area gudang yang menjadi tkp kali ini.

***

“Korban bernama Eric Elyanzo, berusia 25 tahun. Saat ini bekerja sebagai kepala manajer keuangan di perusahaan bernama FNB. Ia tinggal sendiri di apartemen Eleven yang tepat berada di depan perusahaannya. Sementara korban ditemukan dalam keadaan meninggal pagi tadi di sebuah gudang tidak terpakai, yang berjarak 5km dari tempat tinggalnya oleh sekumpulan anak-anak dari daerah tersebut,” jelas Elea membuka rapat begitu semua anggota departemennya sudah berkumpul.

Di belakangnya, layar monitor menunjukkan wajah dan biodata dari korban. Lantas berganti menjadi gambar kolase korban saat ditemukan. Tidak terlihat mengerikan, karena korban masih menggunakan pakaian lengkap. Celana jeans hitam dan kemeja putih yang bagian kerah, dada serta lengan kanannya sudah berubah menjadi merah.

CREATORWhere stories live. Discover now