02. Dirinya yang rapuh☆

Start from the beginning
                                    

"Bunda?" ujar anak laki-laki itu lagi kala tidak mendapatkan jawaban dari Airin.

Wanita itu segera menghapus air matanya, masih tersenyum tipis ke arah sang putra, manik bening dan polos milik putranya itu mampu menenangkan hatinya yang sakit, Airin membawa tubuh kecil putranya itu untuk ia peluk. "Bunda nggak papa, Bio kenapa bangun hmm? Kak Tiara di mana?" tanyanya lembut, menyembunyikan lukanya yang baru saja ia dapatkan. Putranya tidak boleh tahu jika ia tengah bersedih saat ini.

Fabio melepaskannya pelukannya lalu  menunjuk ke dadanya, seolah mengatakan karena hal itu dirinya terbangun. "Tadi Bio kaget, terus dadanya sakit Bunda. Tapi udah dielus sama kakak, sekarang kakak udah tidur lagi." Anak itu terbangun karena suara lantang kedua orangtuanya, hingga membuat organ di dada kirinya sedikit memberontak hingga menimbulkan nyeri, namun untungnya ada sang kakak yang membantu dirinya mengatasi itu.

Mendengar itu Airin menjadi merasa bersalah, kemungkinan besar yang membuat anaknya kambuh adalah karena keributan yang terjadi tadi. Bisa Airin lihat wajah sang anak masih sedikit pucat.

"Maafin bunda ya udah buat Bio sakit." Airin kembali membawa sang buah hati kedepannya, menghirup rambut Fabio yang harum shampoo.

"Bio nggak papa Bunda."

Kejadian itu, adalah salah satu yang masih diingat Fabio hingga dirinya sudah usia 18 tahun saat ini. Pelukan dari ibunya itu juga adalah yang terakhir kalinya mendapatkan kehangatan itu. Jika ada satu kesempatan, maka Fabio tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk kembali mendapatkan pelukan hangat ibunya.

Entah kapan hal itu akan terjadi, yang bisa Fabio kini lakukan di setiap waktunya dihabiskan dengan melamun. "Ck, lama-lama jadi gila beneran gue disini," gumamnya pelan, ia sendiri di ruangan ini sementara Gama tengah istirahat dan makan siang, membuat Fabio hanya bosan.

"Kapan ada pelangi ya, pingin banget liatnya." Fabio berdecak kecil karena hanya hening yang menjawab, lagi-lagi yang hanya bisa Fabio lakukan menghela napas bosannya.

Tatapannya beralih pada pintu kamarnya, lantas ia dekati dan mengernyit heran saat dirinya memutar kenop pintu tersebut terbuka, karena biasanya pintu itu terkunci jika Gama keluar, Fabio tersenyum culas, Gama lupa mengunci kembali. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Fabio melangkahkan kakinya menjauhi ruangan itu dengan kaki tanpa beralaskan sandal.

"Rasanya bebas banget," katanya dengan senang.

Matanya melirik kanan-kiri, banyak pasien yang keluar ditemani perawat mereka masing-masing, ada yang berbicara sendiri, ada yang menggendong boneka dan diajak bicara layaknya bayi dan juga ada yang mengamuk sampai menyerang perawatnya sendiri hingga kewalahan sampai beberapa perawat yang lain ikut ambil. Fabio tidak terganggu dengan hal itu, langkahnya ia bawa ke bangku panjang yang kosong, di lorong rumah sakit.

Baru saja beberapa menit dirinya duduk disana, Gama datang dengan lari ke arahnya dengan wajah yang khawatir, membuat Fabio kesal, kenapa Gama bisa tahu dengan cepat menemukannya?

"Bio, kakak kira kemana. Ayok ke kamar," ujar Gama yang baru saja datang, ia sudah kepalang panik saat tidak mendapati Fabio di kamarnya karena ia lupa mengunci kamar.

Inilah yang membuat Fabio marah, dirinya benar-benar diperlakukan seperti pasien sakit jiwa pada umumnya, dirinya benci. Dia tidak gila! Harus berapa kali lagi dirinya mengucapkan kata itu.

"Kalo dokter Satya tau, bisa di marah," kata Gama lagi seraya memegang tangan Fabio untuk digandengnya, namun dengan cepat Fabio menyentaknya dengan keras.

"Nggak mau!" tolaknya.

"Bio..."

"Nggak kak! Gue nggak bakal kemana-mana! Gue cuma mau disini! Apa salahnya sih!" katanya dengan sarkas, menolak ajakan Gama dan membuang muka agar tidak melihat wajah pemuda itu.

"Bio, tolong ngertiin kakak..." Gama tidak kehabisan akal yang bahkan kini Gama sudah berlutut di depan Fabio, membujuk agar anak itu mau kembali ke kamarnya.

"Argh!! Sebenarnya siapa yang disini nggak bisa ngertiin? Gue nggak bakal kabur kak, gue cuma mau duduk di sini, gue kesepian dan lo tau itu." Fabio menggeram marah, Fabio tidak suka saat Gama bersikap overprotektif dengan alasan demi kebaikannya.

"Kakak cuma khawatir sama lo Yo,", kara Gama memberikan pengertian dengan nada lembutnya.

Fabio tersenyum miris, Memberanikan diri untuk menatap Gama yang masih berlutut didepannya. "Kakak khawatir? Apa yang kakak khawatirin? Khawatir gue bakal kabur? Gue nggak bakal ngelakuin itu kak... Kakak nggak perlu khawatir..."

"Bio."

"Gue bukan orang gila kak, tolong jangan perlakukan gue berlebihan." Harus berapa kali lagi Fabio mengatakan jika dirinya bukan orang dengan gangguan jiwa yang harus selalu dijaga? Fabio tidak akan melakukan hal yang bisa membahayakan orang lain.

"Gue juga tau itu Bio, maka dari itu sabar sedikit lagi. Kakak masih usahain buat lo biar bisa keluar dari sini." Gama memegang kedua bahu rapuh itu dengan lembut, Gama tidak bermaksud menjadikan Fabio merasa tertekan, ia pun selama ini memikirkan bagaimana cara membawa anak itu pergi dari sini.

Fabio menunduk mendengar itu, apa memang dirinya selama ini egois? Agar Gama tidak melihat jika kini dirinya tengah sedih meratapi nasibnya tanpa ragu kini Fabio menenggelamkan wajahnya ke dada Gama, mencari perlindungan.

"Rasanya sakit kak hiks... Gue takut..." Gama tahu, Fabio hanya ingin terlihat kuat jika bersamanya, Gama sangat tahu hal itu. Namun yang Gama benci adalah tidak bisa membantu Fabio hingga saat ini.

"Iya gue tau, sabar ya kakak mohon bersabar sebentar lagi." Fabio mengangguk kecil di pelukannya, Gama adalah sosok yang penyabar, walau sekalipun ia meninggikan nada suaranya, Gama tidak akan membalas hal yang serupa.

Gama juga mempunyai adik seumur dengan Fabio di rumah, jika Fabio sekolah mungkin kini sudah kelas 3 SMA sama dengan adiknya itu. Gama menyayangi Fabio seperti adik kandungnya sendiri, Fabio butuh kasih sayang dan perlindungan dari seseorang, maka Gama lah yang akan maju paling depan.

"Sekarang kakak mohon jangan nangis ya, air mata lo terlalu berharga." Berulang kali Gama menepuk-nepuk pelan punggung Fabio, memberikan hal yang ternyaman untuk Fabio.

"Tolong jangan pergi kak... Gue nggak punya siapa-siapa." Fabio juga sama sayangnya seperti Gama menyayanginya, setiap kali afeksi yang Gama berikan selalu mengingatkan Fabio dengan kakak perempuannya, Tiara.

" Fabio juga sama sayangnya seperti Gama menyayanginya, setiap kali afeksi yang Gama berikan selalu mengingatkan Fabio dengan kakak perempuannya, Tiara

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

TBC...

[]

Lampung,23062022

Batas Akhir [END]✓Where stories live. Discover now