4. Dikeluarkan

75 4 0
                                    

Tiara baru saja membuka pintu rumah dan dikejutkan oleh keberadaan maminya yang duduk di sofa sambil menyilangkan kaki dan bersedekap. Memperlihatkan wajah datar.

"Mami udah pulang?"

"Sini duduk, mami mau bicara sama kamu," ujar Rena dengan nada tegas.

Setelah Tiara berada didekat maminya, tiba-tiba wanita itu berdiri dan langsung menampar pipi anaknya dengan kencang hingga membuat pipi Tiara yang putih menjadi merah.

"Mami kecewa sama kamu Tiara! Kamu pikir mami diluar negeri nggak tahu nilai ulangan kamu berapa?"

"Sembilan puluh? Kok bisa kamu dapet nilai cuma sembilan puluh?"

Rena tampak menggeram kesal.

"Kamu nggak belajar sungguh-sungguh kan, Tiara?"

"Tiara belajar mi," sahut Tiara.

"Kalo belajar kamu nggak mungkin dapet nilai segini, kamu harus dapet nilai sempurna! Mami malu sama temen-temen dan kolega mami! Mereka pasti menghina mami di belakang karena mami punya anak kayak kamu."

"Lihat mami, mami adalah pengusaha sukses yang bisa menangani berbagai perusahaan. Dan kemarin mami baru dapet penghargaan sebagai pengusaha sukses tahun ini. Tapi kenapa anak mami nggak bisa lebih dari mami? Malah bikin malu," lanjut Rena.

Tiara mengepalkan tangannya.

"Ini semua gara-gara murid beasiswa itu!" teriak Tiara mengeluarkan semua kekesalannya selama ini.

"Murid beasiswa?"

"Iya, semuanya gara-gara dia," sahut Tiara.

"Mami harus keluarin si gembel itu dari sekolah."

Keesokan harinya Tiara memoles wajahnya dengan make up cukup tebal untuk menutupi pipinya yang merah bekas tamparan keras dari maminya kemarin.

Setelah memastikan tamparan kemarin tidak terlihat lagi barulah Tiara turun dan hendak sarapan bersama maminya.

Kosong.

Tidak ada siapapun yang duduk di meja makan.

"Mami mana?" tanya Tiara kepada pelayan yang berdiri di sana.

"Nyonya sudah berangkat bekerja pagi-pagi buta, non," sahut pelayan.

"Aku sarapan di sekolah aja," ujar Tiara dengan nada ketus lalu melangkah menuju pintu.

Sementara itu seperti biasa Arum diantar ayahnya sampai di pertigaan jalan.

"Ayah berangkat dulu."

"Hati-hati yah," ujar Arum sambil melambaikan tangan.

"Iya," sahut Lukman seraya melajukan motornya.

Arum yang berjalan di trotoar tiba-tiba terkejut karena anak berandalan yang kemarin nongkrong lagi di tempat yang sama. Kemarin sore Arum sudah sedikit lega karena saat pulang sekolah anak berandalan itu tidak ada di sana. Arum pikir mereka hanya mampir sebentar, tapi sepertinya Arum salah.

Jangan sampai sekarang tempat itu menjadi tempat nongkrong anak berandalan tersebut.

"Nggak usah takut Rum, jalan cepet dan nggak usah nengak-nengok kayak kemarin pasti aman," batin Arum seraya mengambil nafas dan mengumpulkan keberaniannya.

Arum berjalan dengan cepat dan hendak melewati anak berandalan itu. Namun tiba-tiba si rambut putih turun dari atas motor dan berdiri menghalangi jalan Arum.

Sontak Arum menghentikan langkahnya dan mendongakkan kepalanya melihat siapa yang berani menghalangi jalannya.

Si rambut putih itu memperhatikan wajah Arum dengan teliti. Seketika kaki Arum mundur selangkah.

"Permisi," ujar Arum lalu berjalan ke kanan melewati si rambut putih itu.

Grep!

"AW!"

Zion memegang tangan Arum hingga gadis itu memekik kesakitan. Zion membuka sedikit lengan sweater Arum dan melihat ada luka di sana.

Arum melepaskan tangan Zion dari tangannya dengan kasar.

"Jangan pegang-pegang!" ujar Arum galak lalu gadis itu berlari menuju ke gerbang.

Setelah melewati gerbang sekolah Arum memberanikan diri menoleh ke belakang dan melihat ke arah si rambut putih yang tengah melihatnya.

***
Sebuah mobil mewah memasuki halaman sekolah Luis high school. Sang sopir keluar dari mobil untuk membukakan pintu majikannya.

Rena keluar dari mobil dengan pakaian formal yang memiliki harga sangat mahal dan terkesan anggun serta angkuh.

Wanita itu berjalan menuju ke ruang kepala sekolah yang sangat ia hafal. Di sana Rena sudah disambut oleh kepala sekolah.

"Selamat siang bu Rena," sapa kepala sekolah seraya tersenyum ramah.

"Siang," sahut Rena ketus sambil mengedarkan pandangannya.

"Silakan duduk Bu Rena."

Rena duduk dan memasang wajah datar.

"Tumben anda langsung datang kemari? Biasanya anda langsung mentransfer uang untuk sekolah ini."

"Apa benar di sekolah ini menerima siswa melalui jalur beasiswa?"

"Benar Bu Rena," sahut kepala sekolah.

"Berapa siswa?"

"Ada lima siswa, memang ada apa Bu Rena?"

"Saya ingin melihat foto mereka."

"Sebentar, saya carikan berkasnya," ujar kepala sekolah.

Di saat kepala sekolah mencari berkas. Rena mengirim pesan kepada Tiara agar datang ke ruang kepala sekolah.

"Ini Bu Rena foto mereka," ujar kepala sekolah sambil memperlihatkan foto kelima siswa tersebut.

Rena melihat foto semua siswa dari jalur beasiswa dalam diam.

Tok tok tok!

"Permisi pak." Tiara membuka pintu.

"Ada apa Tiara?" tanya kepala sekolah.

"Saya yang suruh Tiara ke sini," ujar Rena.

"Ada apa mami nyuruh aku ke sini?"

"Siapa dari kelima anak ini yang udah bikin nilai kamu turun?"

Tiara berjalan mendekat lalu menunjuk foto Arum. "Dia mi."

Rena menatap wajah Arum dengan teliti. "Jadi dia anaknya."

"Pak Seno, saya mau anak ini dikeluarkan dari sekolah secepatnya," ujar Rena dengan begitu entengnya.

Diam-diam Tiara tersenyum miring mendengar perkataan maminya.

"Tidak bisa Bu Rena," sahut kepala sekolah.

"Saya tidak mau tahu, anak ini harus dikeluarkan, atau saya tidak akan lagi mendanai sekolah ini," ancam Rena tak main-main.

Kepala sekolah tampak bimbang.

"Tapi hanya dia saja kan Bu Rena yang dikeluarkan?" tanya kepala sekolah pada akhirnya.

"Iya," sahut Rena dengan tegas.

"Baiklah kalo itu menjadi keinginan anda, akan saya keluarkan dia dari sekolah ini," ujar kepala sekolah dengan terpaksa.

"Kalo begitu saya permisi," ujar Rena dan dengan angkuhnya meninggalkan ruangan disusul Tiara.

"Makasih ya mi, udah bikin si gembel itu dikeluarin dari sekolah," ujar Tiara dengan raut bahagia.

Rena menghentikan langkahnya lalu menatap wajah anaknya. "Semua itu nggak gratis," ujarnya.

"Maksud mami apa? Aku harus bayar?"

"Tentu aja kamu harus bayar pake peringkat satu, dan setelah ini nggak ada alasan buat kamu turun peringkat," ujar Rena tampak tegas.

"Iya mi," sahut Tiara bahagia.

***

ZionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang