"Mama Una antuk."

"Yuk kita bobo di kamar aunty Uwa ya?"

"Bobo ini Mama," rengek Una lagi.

Rainy yang tidak ingin Una menangis lagi hanya bisa menuruti kemauan anak itu, dia pun membaringkan Una di ranjang king size milik Vano dan Tika.

"Mama bobo ini ama Una," rengeknya lagi.

Lagi Rainy menurutinya meski ada rasa khawatir menderanya, takut jika Hulwa datang dan salah paham juga takut jika Vano menegurnya.

Dengan terpaksa Rainy membaringkan tubuhnya disamping Una sembari mengelus punggungnya, mungkin karena masih kelelahan Rainy sudah terlelap bersama Una dipelukannya.

Vano keluar dari kamar mandi mendekat kearah mereka berdua, "Benarkah aku sudah menikah dengan gadis ini?" batinnya.

Vano mendudukkan dirinya disisi Rainy memperhatikan dengan seksama, apakah nantinya dia bisa menjalani kehidupan rumah tangga seperti halnya dengan Tika, Wanita yang menurut Vano sangat baik bahkan mungkin baginya lebih sulit mendapatkan seorang wanita seperti Sartika. Mampukah dirinya membuka hati untuk adik iparnya yang kini sudah menjadi isterinya, apalagi usia Rainy masih sangat muda dan labil. Seandainya bisa memilih mungkin lebih baik Dia memilih Hulwa yang sedikit lebih dewasa. Tapi balik lagi semua yang terjadi sudah menjadi ketentuannya. Entah butuh waktu berapa lama dia bisa membuka hatinya untuk Rainy. Untungnya Rainy belum mengetahui tentang pernikahan mereka. Hal tersulit yang menjadi PRnya membuat Rainy jatuh cinta padanya padahal dia sendiri sedikitpun tidak memiliki perasaan itu.

Sudah menjelang maghrib tapi Rainy masih tenang dengan lelapnya bersama Una, Hulwa juga sudah berada di rumah dan semuanya berkumpul di ruang keluarga termasuk Vano.

"Ga ada drama kan tadi?" tanya Hulwa kepada semuanya.

"Drama? maksud kamu?" tanya Vano

Bagaimana reaksi Una melihat Ai?"

"Kejer dia, kamu itu sudah mencuci otaknya," balas Vano kesal.

"Lah, bukannya lebih bagus kalau Una memanggilnya, Mama. Emang harusnya seperti itu kan? dari sekarang mumpung Una belum ngerti apa-apa harus dibiasakan.

Ayah, Ibu dan pamannya menggeleng melihat perdebatan antara Hulwa dan Vano.

"Iya, tapi gak nyuruh Una ngubah panggilannya ke aku juga kali, kamu juga gak lihat bagaimana bingungnya Rainy? gimana Una gak kejer coba, orang yang dipanggil Mama gak paham, Una merasa diabaikan," kesal Vano.

"Mana matching Mama disandingkan dengan Ayah, lagian nanti Ai akan ngerti juga, atau jujur saja ke Ai kalau yang Kakak nikahi itu dia bukan aku," balas Hulwa tak mau kalah.

"Kamu mau membuat Adikmu kabur?" timpal Pak Munif.

"Ayah kan sudah bilang, kita perlahan-lahan sampai Ai bisa menerima semuanya." lanjut Pak Munif lagi.

"Kalian maklumi saja sikap Ai sekarang, dia kan gak paham dengan situasi ini, lagian yang dia tahu itukan Hulwa yang menikah dengan Vano " timpal Ibu Zanita menarik nafasnya.

"Sekarang itu menjadi tugasnya Vano bagaimana supaya Ai nyaman sama dia, biar nantinya gak shock." lanjut Bu Zanita lagi.

Vano hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar.

"Eh, Ainya mana ya, sejak pulang dari rumah sakit aku belum pernah melihatnya," ujar Hulwa celingukan.

"Di kamar tidur sama Una," tunjuk Vano kearah kamarnya.

"Wuiihh, udah sekamar aja," ledek Hulwa.

Vano hanya menggerutu kesal mendengarnya, ingin rasanya menyumpal mulut comberan Adik iparnya itu, yang sekarang sudah menjadi Kakak iparnya.

TURUN RANJANG 2 "ENDING"Where stories live. Discover now