7. Jujur itu baik, namun menyakitkan

456 100 3
                                    

Selamat membaca semuanya

Jangan lupa vote yaa~

"Shht! Jangan ucapkan kalimat apapun! aku masih marah." Ucap Alin begitu Khandra baru ingin membuka mulut yang membuatnya langsung mengatupkan bibirnya dan mengangguk lesu.

Khandra baru saja tiba di rumah Alin, atas pemaksaan yang dilakukan Khandra.

"Sudah makan?" Tanya Alin yang di gelengi kencang oleh Khandra hingga membuat Alin khawatir takut kalau kepala Khandra akan copot sakin semangatnya Khandra menggeleng.

Alin mengangguk, "Makan bareng?" Tanyanya yang diangguki semangat oleh Khandra.

Alin meringis, "jangan terlalu kencang nanti kepalamu copot" ujar Alin sambil mengelus pipi Khandra.

Setelah itu ia pergi untuk menyiapkan makanan yang Khandra bawa untuk keduanya makan. Meninggalkan Khandra yang senyum-senyum sendiri, kupingnya sudah memerah. Kakinya mengikuti langkah Alin kemana pun.

Merasa kesal karena diikuti terus, Alin berhenti dan menoleh menatap Khandra sambil berkacak pinggang, "berhenti mengikuti Khandra!" Ucapnya yang tak dihiraukan kekasihnya itu, ya karena dirinya yang dilarang berbicara oleh Alin. Kasian wkwkwk.

Alin yang ingin berjalan ke meja makan mengurungkan niatnya, ia kembali mundur dan menarik tangan Khandra untuk ikut duduk.

"Makasih ya" Alin tersenyum dan memakan makanannya setelah mereka selesai berdoa. Matanya menatap Khandra bingung. "Kenapa diem aja sih!?" Tanyanya kesal, karena kekasihnya itu hanya mengangguk dan menggeleng.

Khandra tetap diam sambil menatap Alin.

"Ngomong Tala!"

Khandra berdehem, "kau yang menyuruhku untuk berdiam diri." Ujar Khandra yang membuat Alin terdiam kemudian tertawa.

Setelah selesai mencuci piring, Alin dan Khandra duduk di ruang tamu sambil menonton.

Khandra menatap Alin, "sini deh" ucapnya meminta Alin untuk mendekat.

Alin menurut dan mendekat, "kenapa?"

"Dengerin deh" ucap Khandra membawa Alin untuk mendengar suara degup jantungnya.

"Ini degup jantung Alan." Ucap Khandra yang membuat Alin menarik tangannya dan menatap Khandra tak percaya.

"Kepalaku pusing, semua? kenapa tiba-tiba!?? Aku punya tumor? Abang aku? Alan? donor jantung?" Alin sungguh bingung, hidupnya kenapa selucu ini? Dan kenapa semua terjadi diwaktu yang bersamaan? Ayolah apa dia tak boleh bahagia dan merasa tenang sejenak?

Khandra memeluk tubuh kekasihnya itu, "aku baru tau setelah papa cerita. Alan sakit sejak dia masih bayi, ketika umurnya 6tahun disitu Alan mengalami masa kritis dan ketika ia sudah mati otak, mama dan papamu langsung mendonorkan jantungnya untuk aku." Penjelasan Khandra yang singkat membuat Alin melepas pelukan Khandra.

Lagi, apa ini semua masuk akal? Tumor? Khandra? Alan? Wah luar biasa!

"Aku mau istirahat, Tala lebih baik kau pulang sekarang, makasih. Sampai ketemu." ucap Alin yang segera berdiri dan berjalan menuju kamarnya.

Khandra meremas rambutnya, sebelum pergi meninggalkan rumah Alin. Setidaknya Khandra akan berusaha jujur, Alin harus tau semuanya. Entah akhirnya akan seperti apa, ia akan berusaha sebaik mungkin.

Tiga hari setelah Alin sendiri, hari ini dirinya meminta Khandra untuk bertemu dengannya. Setelah berpikir semuanya, walau tetap terasa tak masuk akal. Namun ia tak ingin menyesal karena egonya, toh semua sudah terjadi, ia sudah kehilangan semuanya, apa ia harus mengorbankan Khandra juga karena rasa kecewa atas nasibnya?

Tala dan Alin ☑️Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz