2. Sekarang Sudah Pro

Mulai dari awal
                                    

Sejak hubungan kami terkuak dan berita pernikahan kami terungkap, Mas Dharma beberapa kali bercerita kalau dia sering mendapat godaan dari rekan sejawatnya (tentu saja yang berusia sepuh atau seumuran dengannya) tentang jarak usia kami yang merentang jauh. Delapan belas tahun memang bukan jarak yang umum bagi pasangan. Ya, kayak aku bisa nawar saja bakal menikah dengan siapa.

"Ya, masih." Mas Dharma terdengar santai. "Mau digimanain memang begitu 'kan? Kalau kita jalan bareng sekali lihat orang juga bakal tahu kalau kamu jauh lebih muda dariku."

"Tapi, serius deh, Mas. Kamu kayaknya lagi dalam masa ganteng-gantengnya." Aku jadi ingat perkataan mama kalau pria berusia empat puluhan itu biasanya sedang dalam masa puncak kegantengan. Dulu kupikir itu bohong, namun melihat Mas Dharma sekarang kayaknya omongan mama ada benarnya juga.

Meskipun masa muda Mas Dharma juga nggak kalah ganteng. Hanya saja, diusianya yang menjelang empat puluh satu itu, garis wajah Mas Dharma semakin hangat dan kebapakan, tatapan matanya juga menyiratkan pengayoman, serta stamina dan fisiknya yang semakin prima. Mana perut semakin rata dan kencang. Meskipun nggak sampai kotak-kotak, tapi dada bidang dan bahu lebarnya yang tegap sudah lebih dari cukup untukku. Lagipula, vitalitasnya nggak main-main. Mengingat hal itu, mau nggak mau aku sekarang jadi ikut ngegym dan kursus yoga. Ya, masa aku yang masih muda letoy, sedangkan suamiku yang sudah berumur masih sangat bugar.

"Cari hotel gih, Ren!"

"Maunya." Kurangkul lengannya dan kusandarkan kepalaku di bahunya. "Boleh." Aku nyengir. "Mumpung Caca sedang dimomong sama Mama dan Dito."

Mas Dharma menyerahkan ponselnya padaku. "Booking!"

Aku terbahak-bahak. "Niat!"

#

"Bukannya kita telat?" Aku menatap seisi gedung yang terlihat masih sangat ramai. "Temanmu ngundang satu Jakarta atau gimana?" Aku agak ngeri karena jam kondangan hanya tersisa sepuluh menit lagi.

"Dokter senior." Mas Dharma melepaskan rangkulannya di pinggangku dan beralih untuk menautkan lengan kananku ke lengan kirinya. "Kenalannya banyak." Mas Dharma menawariku. "Salaman terus ke hotel?" Aku tersenyum malu-malu sambil mengangguk. Dia tertawa.

Ya, gimana? Masih terhitung pengantin baru. Nikah belum ada satu tahun. Sedang hangat-hangatnya dan bawaannya ingin nempel terus. Apalagi aku, parah banget! Colek sedikit saja langsung kepancing. Hormon di usia muda yang sedang menggebu-gebu.

"Prof. Dharma!"

Aku seharusnya nggak berharap banyak. Yang kami hadiri adalah pesta kolega kerjanya Mas Dharma, artinya tamu-tamunya pun adalah orang-orang yang otomatis terkoneksi dengan suamiku. Nggak mungkin kami cuek saja dan langsung cabut setelah menyapa tuan rumah.

Mas Dharma menatapku dan meminta pemakluman. Aku mengangguk kecil sebagai tanda setuju. Lagipula, aku nggak menikahi pria seusiaku yang masih bisa bersikap semaunya. Dan mengingat Mas Dharma sangat mencintai dan menikmati pekerjaannya, aku memang harus mengerti serta beradaptasi termasuk dengan mengharagai orang-orang yang bersinggungan dengannya di lingkungan kerja.

"Apa kabar, Prof?"

"Baik, dokter Irfan." Mereka berjabat tangan, saling menanyakan kabar sebelum Mas Dharma memperkenalkanku. "Kenalkan, ini Renata, istri saya." Kami berjabat tangan. Kemudian Mas Dharma mulai memperkanlanku pada koleganya yang lain.

Ketika dulu kami menikah, kami nggak mengundang banyak orang. Aku dan Mas Dharma sepakat untuk menggelar pernikahan yang hangat dan sederhana. Meskipun itu pernikahan pertamaku (dan akan menjadi yang terakhir), tapi bagi Mas Dharma itu adalah pernikahan kedua. Dan ibuku juga mendapatkan menantu yang sama di pernikahan anak keduanya.

Pesona Rasa After MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang