3. Rahasia Kita

57 20 6
                                    

Ada dua hal yang menggambarkan kondisinya saat ini. Pertama, dia sangat senang akhirnya bisa bertemu dengan Sissy secara langsung. Kedua, pemuda itu makin percaya kalau dunia fantasi itu benar-benar ada. Bayangkan, jika dirinya bisa menemukan manusia-manusia berkekuatan mungkin saja dirinya akan membuat sesuatu kelompok untuk membantu manusia di bumi seperti di film Marvel.

Rasanya ia masih setengah percaya setelah merasakan tangannya yang masih berdenyut setelah Sissy menyentuh tangannya. Ini benar-benar gila. Lebih tepatnya gadis itu yang membuatnya gila. Selain itu ada satu hal lagi yang masih membuatnya tidak percaya. Hari ini, dirinya membuat tato karena kalah taruhan. Ya, tato di leher bagian belakang yang bertuliskan 'Ethan' itu masih terasa perih. Untunglah dirinya membawa sebuah hoodie untuk menutupi tatonya.

"Dari mana saja kau." tiba-tiba suara itu muncul dari sunyinya rumah.

Ya, siapa lagi kalau bukan ibunya, juga sang ayah yang ternyata berada di samping sang ibu.

"Ciee... Cieee... Kelihatannya ada yang sedang bermesraan!" sahut Ethan dengan gayanya.

"Jangan mengalihkan topik."

"Siapa yang mengalihkan topik Bu, lagi pula Ethan sudah besar. Masa masih ditunggui seperti bayi. Yang harusnya ditunggui itu Riki."

"Tapi kau harus lihat sekarang jam berapa." lanjut sang ayah.

"Hmm, jam berapa ya?" pura-pura melihat arlojinya. "Ya ampun! Jam 12, Yah. Ethan lupa memberi makan Ocit."

"Ocit? Siapa itu Ocit?" tanya ayahnya keheranan.

"Ocit, cacing yang ada di perut Ethan. Sudah ya, Ethan ingin memberi makan Ocit dulu. Bye! Lanjutkan saja lagi bermesraannya." final Ethan kemudian berjalan loncat-loncat layaknya anak kecil.

Menghela nafas, "Hahh, anak itu." kemudian lanjut menggelengkan kepalanya.

"Hampir saja." batinnya kemudian langsung masuk ke kamarnya.

Setelah masuk kamar Ethan langsung menutup dan mengunci pintu kamarnya. Tidak lupa ia letakkan tas miliknya ke atas meja belajar. Membuka kaos kaki juga melepas sweaternya. Melepasnya dengan perlahan mengingat luka di lehernya masih basah. Ia pun mendesis kala lukanya tersentuh. Jujur ini adalah hal yang paling gila yang pernah ia lakukan seumur hidup.

Ia pun kemudian bercermin membalikkan cermin. Menatap tato yang ia dapat memang masih belum kering. Mungkin ia tidak akan mandi sampai besok jika perlu. Punggung besarnya terpampang jelas berbentuk segitiga. Bahunya lebar, ditambah tidak ada satu celah pun yang merusak keindahan tubuhnya. Ada rasa bangga tersendiri, tapi ia takut suatu saat ia akan menyesal membuat tato di usia yang masih muda yakni 19 tahun. Mungkin nanti yang harus disalahkan adalah teman-teman gilanya itu.

Ia pun membalikkan badannya menghadap cermin. Terlihat tubuhnya sangatlah jelas. Dada bidang dan perut kotaknya. Semua sempurna. Hanya saja mungkin isi otaknya yang kurang.

"Cih, aku inikan vampir. Aku tidak akan mati jika hanya menato sekecil itu." tuturnya kemudian meraih gigi palsu berbentuk taringnya kemudian memasangnya.

"Lihat, aku ini vampir." kemudian meminum sirup berwarna merah yang ia tinggalkan tadi pagi. "Uh, aku lupa ini sirup tadi pagi." ucapnya penuh jijik.

"Jadi, mari kita tunjukkan ini pada yang lain." lanjut Ethan meraih ponselnya lalu memotret bagian belakang tubuhnya.

Jadi posisinya saat ini, Ethan membalikkan tubuhnya dari cermin kemudian memotretnya dari pantulan cermin. Bisa dibayangkan betapa sexy nya pemuda itu ditambah suasana remang-remang dari kamarnya. Sudah dipastikan ia membutuhkan waktu untuk membuatnya sesedemikian rupa itu.

Jarak || Lee HeeseungDonde viven las historias. Descúbrelo ahora