[01] - Tugas, tugas, tugas, tipes.

33 4 0
                                    

Penderitaan sebagian besar siswa Indonesia adalah banyaknya mata pelajaran yang harus dikuasai meski kapasitas daya dukung otak kurang mumpuni. Program apapun yang dicanangkan oleh menteri pendidikan, seolah tak memberi perubahan signifikan. Akibatnya, tingkat stres di kalangan pelajar semakin meningkat tajam.

Sebagai penyandang gelar sesepuh di sekolahan, murid kelas dua belas seakan memikul tanggung jawab besar. Ulangan harian, tugas praktek lapangan, hingga ujian nasional telah menunggu untuk segera diselesaikan. Ditambah lagi ada ujian masuk perguruan tinggi yang semakin membuat mereka terserang penuaan dini.

Ada juga tryout yang hampir setiap bulan dilaksanakan, membuat mental-mental para anak muda ini semakin memprihatinkan. Jangankan pacaran, untuk sekedar makan saja mereka melakukannya sembari menonton materi pelajaran.

Karena hasil tryout minggu lalu telah keluar, sekolah berinisiatif membuat kelompok belajar yang berisikan murid campuran.

Para siswa kelas MIPA 1 yang notabene garda terdepat dalam hal mengkatrol nilai rata-rata satu angkatan dibuat resah bin kelabakan. Pasalnya, mereka khawatir akan dicampur dengan siswa berandalan yang sekolah hanya bermodalkan sebuah buku yang dilipat di saku.

"Apa anggota kelompoknya tidak milih sendiri saja, Pak?" Tanya Karin, merasa ketar-ketir dengan keputusan yang diutarakan sang wali kelas barusan.

"Ngga ada, saya paham sama jalan pikiran kalian-kalian, apalagi kamu Karin." Ujarnya sembari menuding Karin yang sudah memasang wajah jutek andalannya. "Jangan egois. Yang pengen pinter juga bukan kalian aja, temen-temen kelas lain juga pengen."

"Kalo gitu belajar sendiri lah, usaha sendiri. Kenapa jadi harus kita yang ngajarin, Pak?" Sekarang giliran Gafthan yang mendebat gurunya sendiri.

"Halah, sudah sudah. Jalanin aja dulu, kalian ini belum dicoba kok sudah ngeluh duluan. Ikuti saja, wong peraturannya emang seperti itu!" Si Bapak mulai jengah dan memilih meninggalkan ruangan, sontak para murid mengeluarkan sorakan yang menandakan mereka kesal atas keputusan sepihak sang wali kelas.

"Dih, gua aja kagak paham materi. Pake ada acara ngajarin anak kelas lain. Syaland emang!" Maki Gafthan.

Fatimah yang mendengar langsung menyaut, "Plis, elu jangan merendah untuk membangsat ya..."

"Kagak paham beneran baru tau rasa ente!" sambung Fatimah.

Gafthan hanya mendengus sebal mendengar perkataan Fatimah yang cukup frontal. Dengan cepat dia segera membereskan bukunya, bersiap untuk pulang.

"Lu mau kemane? Amnesia? Belajar kelompok dulu, cuy! Main ngibrit ae perasaan!" Hardik Fatimah sembari menarik lengan baju Gafthan.

"Gue tadi kan udah bilang ogah, Tim!"

"Iya tau, tapi masalahnya lu sekelompok ama gue. Dan ini anggota dari kelas lain cowok semua, lu ikhlas kalo misal gue kenapa-kenapa?" tanya Fatimah, "lu tega Gaf, bestfriend lu dari jaman zigot ini kenapa-kenapa?" sambungnya.

"Tega lah, lu aja kemaren tega ninggalin gue di warung Bu Bariyah. Gua mampus dikeroyok bu-ibu rumpi, kalo lu tau?!"

"Kan dompet gue ketinggalan Gaf kemaren, salah lu sendiri kagak mau ikut gue pulang aja!"

"Halah, banyak alesan lu, terompet karnaval!"

Fatimah tak terima dengan julukan yang diberikan Gafthan dan segera membalasnya. "Heh, Kafir Qurais diem lu. Gua cepuin Pak Haji Dullah ya kalo elu baca Al-Qur'an-nya langsung balik dua lembar biar cepet hatam!"

Teman sekelas mereka hanya memandang jengah perdebatan dua anak manusia itu, mereka bosan mendengar adu mulut yang ujung-ujungnya juga ngga sampe lima menit udah baikan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 06, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Pejuang UTBKWhere stories live. Discover now