Khandra melipat tangannya di dada, sambil memandang wajah Alin yang begitu datar walau nafas gadis itu tak teratur karena menahan rasa kesal. Ya untuk sebatas ekspresi, Alin adalah seseorang yang mudah diketahui isi hatinya, menurut Khandra. "Alin, begitu cara kamu bicara sama atasan mu?"

"Oh iya, maaf pak jika saya berlaku tak sopan." Sindir Alin dengan wajah sinisnya. Walau dalam hati ia mengumpat, mengapa harus Erithel yang menjadi wajah perusahaan? mengapa Erithel harus menjadi model!? mengapa Khandra suka dengan wanita seperti Erithel!??

"Untuk makan nanti malam, kau ikut denganku." Ujar Khandra menyelesaikan kalimat yang sebelumnya di potong Alin.

Alin mendengus tak suka, matanya menatap Khandra semakin sinis, "Dan aku harus menyaksikan kemesraan bapak yang beberapa tahun lalu belum di balas?! Eh maksud saya, saya tak ikut karena pak Dendra yang akan menemani bapak."

Khandra tertawa kecil, "dasar anak kecil" tangannya mengacak pelan rambut Alin, membuat wajah gadis itu memerah memerah.

Setelah itu Khandra kembali ke mejanya dan Alin ke ruangannya. Meninggalkan Alin dengan debaran jantung yang entah harus bagaimana gadis itu menanganinya.

"Pak waktunya makan siang" sebagai sekretaris dan calon istri yang baik Alin sudah berdiri tepat di depan Khandra yang menatapnya kemudian menaruh lembaran kertas itu.

Khandra berdiri dan hanya mengangguk.

Keduanya kini sudah tiba di restoran yang sudah di reservasi.

Alin hanya diam dan sesekali tersenyum.

"Khandra, apa dia sekretaris mu?"

"Ya, tapi hanya sementara." Jawab Khandra yang mendapat respon anggukan. Tatapan memuji yang diberikan para pria disini membuat Khandra muak.

Ayolah apa spesialnya Alin? Sampai kalian menatapnya begitu lapar?

Khandra tak habis pikir dengan isi dari pikiran para lelaki yang jatuh hati pada Alin.

Yang bertanya itu tersenyum, "untuk berapa bulan?" Tanya nya lagi.

"3 bulan."

"Boleh kah aku mengetahui namamu, nona?" Tanyanya yang kini menatap Alin yang baru ingin membereskan makanan untuk Khandra. Alin mengangkat kepalanya dan tersenyum.

"Alin Andhira pak, tidak perlu memanggil saya nona, cukup Alin saja" jawab Alin dengan senyum ramahnya.

Pria itu menyukai cara Alin berbicara, "perkenalkan aku Erick Benjamin." Ucapnya sambil menyodorkan tangan yang tentu di balas oleh Alin.

"Selesai kontrak, mau bekerja di perusahaanku?" Tanya Erick tanpa basa-basi.

Alin mengedipkan matanya, ia bingung harus menjawab apa. Matanya melirik Khandra sekilas, pria yang dilirik hanya mengangkat alisnya sebelum menatap Benjamin.

"Kau tak perlu bingung kenapa aku ingin merekrut dirimu langsung. Bisa masuk ke perusahaan keluarga Vijendra sudah pasti memiliki kemampuan yang tidak perlu diragukan." Ucapan Benjamin tentu tidak salah dan beralasan. Alasan yang sangat masuk akal, hingga tak ada yang bisa membantah bahkan Khandra pun tak bisa.

Alin tersenyum dengan pujian yang ia terima, "terimakasih, saya merasa senang karena artinya saya tidak salah memilih perusahaan. Namun saya rasa pertanyaan itu kurang cocok ditanyakan saat saya masih bekerja di perusahaan ini."

Benjamin tersenyum dan mengangguk.

Makan siang pun berakhir.

"Setelah makan siang, bapak akan ada rapat dengan investor da-"

Tala dan Alin ☑️Donde viven las historias. Descúbrelo ahora