20. Grandpa's Gift

219 51 13
                                    


Hal pertama yang langsung menarik perhatian Elois begitu dia membuka pintu kamarnya adalah beberapa kotak dengan berbagai macam ukuran yang sudah dapat ia tebak apa isinya. Pasti ada satu set pakaian lengkap dengan sepatu dan aksesoris lainnya. Namun yang paling menarik perhatiannya adalah kotak kecil yang berada di posisi paling atas.

Elois mendekat lalu meraih kotak itu dan membuka tutupnya, ada kotak emas di sana. Dan dia langsung bisa menebak apa isinya. Jam tangan. Lange & Söhne Grand Complication. Jam yang memiliki 876 bagian bergerak yang rumit dengan diameter 50mm dan tebal 20mm. Dengan harga 2,5 juta dolar AS (sekitar Rp35 miliar) yang merupakan salah satu jam favorit kakeknya. Meskipun sekarang Elois tahu seberapa kaya keluarganya namun tetap saja hal-hal kecil namun mewah ini masih sering membuatnya merasa tidak biasa. Bagaimana pun, dia dibesarkan dengan cara sederhana oleh seorang single mother.

Kemudian ada kotak lain dengan logo LV besar yang dapat dengan mudah dia tebak bahwa itu adalah set koleksi khusus dari Louis Vuitton dan sepatu Testoni Dress Shoes hitam mengkilap dengan memancarkan kemewahan yang jelas.

"Mereka ingin menjadikanku papan reklame atau apa? Tentu tidak bisa berjalan-jalan dengan santai di luar bersama benda-benda seperti ini," keluh Elois sambil menggelengkan kepala.

Sekarang bahkan dia tidak akan heran lagi jika nanti melihat Christina Collins mengenakan stileto atau mungkih high heels bertabur berlian. Iya, Christina. Chris, wanita kecilnya. Rasanya seperti sudah sangat lama tidak berjumpa dengan nona muda itu. Ada kerinduan dalam hati Elois meski dia tidak lagi tahu rindu mana yang dia rasakah. Terhadap adik. Atau terhadap seorang wanita dewasa. 

Perasaannya yang telah lama bercampur aduk tak karuan itu mungkin akan kembali.

Elois kembali menaruh benda-benda itu di atas meja dan melangkahkan kaki menuju dinding kaca. Dia menatap keluar dalam keheningan. Rasanya sudah sangat lama sekali dia terus mencoba menjauh dan berlindung dibalik tanggung jawab sebagai seorang anak tunggal dari keluarga tertua, sebagai seorang kakak, sebagai panutan. 

Menjalani kehidupan sebagai seorang Lynford nyatanya memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Dan dia selalu menekan dirinya sendiri untuk seolah tidak memiliki waktu demi memikirkan perasaannya.

Tok tok tok

Suara ketukan di pintu menariknya dari lamunan.

"Masuklah!" perintahnya singkat.

Thalia masuk dengan sebuah tablet di tangannya. Wanita itu melirik Elois sekilas lalu jemarinya kembali sibuk dengan layar pada benda tersebut.

"Pesta lusa nanti menjadi acara penting, kakekmu meminta ku untuk memastikan semua keperluanmu tersedia sebelum acara. Jadi, aku ingin mengecek apakah ada lagi yang kamu perlukan?" tanya Thalia dengan lancar sebelum akhirnya mengalihkan pandangan dari tablet ke arah wajah tampan Elois yang selalu sukses membuat jantungnya berdebar.

Elois memberi kode Thalia dengan matanya, menatap ke arah kotak-kotak di meja yang ada dalam kamar tersebut.

"Oh, itu paket untuk pesta. Kakekmu mengirimnya dan..."

"Aku tahu. Maksudku, dengan benda-benda sebanyak itu kurasa sudah cukup. Kurasa, setiap langkahku akan menjadi iklan gratis." Elois memotong ucapan Thalia.

Mendengar ucapan yang jelas seperti keluhan itu tanpa sadar membuat Thalia tersenyum untuk menahan tawanya, membayangkan bagaimana Elois akan melangkah dalam pesta dengan benda-benda berlogo besar.

"Tidak. Bukan seperti itu. Semakin mahal harganya, maka desainnya akan semakin eksklusif dan simpel. Jadi, jangan bayangkan ada logo LV atau Gucci atau yang lainnya sebesar mata memandang," ucap Elois seolah dia tahu apa yang ada dalam pikiran wanita itu.

"Oh, kukira..."

"Kakekku tidak akan membiarkan sekujur tubuhku dipenuhi logo-logo brand," balas Elois yang kemudian tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala.

Thalia ikut tersenyum mendengarnya. Pembicaraan dengan Elois selalu menyenangkan. Terlebih dengan status mereka juga kelas sosial Elois, semuanya menambahkan nilai plus berlipat ganda di mata Thalia. Padahal, mulanya dia menolak keras untuk bekerja dengan Elois dan berpikir bahwa pria itu tipe orang yang mudah mengeluarkan uang tanpa berpikir panjang. Namun, setelah beberapa waktu bersama, dia mulai mengenalnya. Semua yang dia pakai adalah pemberian kakek, nenek, ayah, atau ibunya. Elois hanya membeli barang-barang murah untuk dia kenakan atau makan, seperti kaos souvenir di pinggir jalan, atau sekadar mampir di restoran siap saji dan menikmati coke dengan sekotak ayam goreng.

"Oh iya, selama aku menghabiskan waktu ku di pesta. Kamu bisa bepergian kemana pun yang kamu mau. Aku akan memberikan uang saku," ucap Elois sambil merogoh saku celana untuk menemukan dompet dan mengeluarkan sebuah kartu bank kemudian menyodorkannya di depan Thalia.

"Pakai untuk beli apa saja yang kamu mau, pin-nya akan kukirim melalui pesan singkat," lanjut Elois.

Thalia kembali tersenyum sambil menerima kartu di tangannya, "Apapun? Bagaimana kalau aku ingin memakainya untuk setumpuk koleksi Dior atau Prada?"

Elois melirik Thalia, lalu mengulurkan tangan dan mengusap puncak kepala wanita itu sambil tersenyum tipis, "Lakukan sesukamu."

Thalia membeku. Dia balas menatap sepasang bola mata dalam jarak yang dekat itu, seolah tersihir ke dalamnya. Dan sekarang dia semakin yakin bahwa apa yang dirinya rasakan bukan lagi sebuah kekaguman seperti apa yang selama ini dia pikirkan. Thalia semakin yakin bahwa dirinya telah jatuh cinta pada pria di hadapannya ini.

"Jadi, sekarang biarkan aku istirahat sebelum menghadapi kegilaan lainnya." Elois melepaskan tangannya lalu membiarkan Thalia keluar dari kamarnya dengan kaku.

Terkadang, Thalia memang terlihat sangat lucu di matanya. Wanita itu jauh seperti seorang adik daripada Christina. Entah bagaimana. Mungkin karena memang apa yang dia rasakan pada kedua wanita itu berbeda. Dan sekarang dia hanya ingin berbaring mengistirahatkan tubuh dan otaknya untuk sementara waktu.


Thalia menutup pintu di belakangnya dengan debaran yang menggila. Jika saja dia memiliki keberanian lebih dan rasa tidak tahu malu yang tinggi, mungkin dia sudah berteriak bahwa saat ini dirinya sedang jatuh cinta sampai nyaris gila.

Sayangnya, untuk bekerja di sisi Elois saja sudah sebuah keberuntungan. Tapi, siapa yang bisa membatasi perasaan manusia jika berkeinginan lebih?

Thalia pun tersenyum tipis lalu memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Ada banyak hal menarik yang harus dia kunjungi dan tidak ingin melewatkan semua itu hanya karena kelelahan..


Masqeurade (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang