「 Prolog」

18 4 3
                                    

Langkahnya berpacu dengan waktu. Napasnya memburu serta keringat mulai membasahi kimono* ungu yang ia kenakan saat ini. Suara antara Geta* dengan tanah gersang Kota Theresia adalah saksi bisu bagaimana rasa takut menyelimuti hati gadis itu. Langkahnya semakin cepat begitu melihat awan merah yang berkumpul di depan sana.

Mengabaikan rasa nyeri di kaki, gadis dengan kimono ungu itu berlari sembari membawa naginata* miliknya. Wajahnya sirat akan kecemasan serta jantungnya berdegup kencang. Dalam hati ia berharap bahwa apa yang ditakutkannya tidak akan terjadi dan Dia benar-benar bisa kembali dengan selamat.

Kaki ramping gadis itu berhenti tepat di pintu gerbang Kota Theresia. Kota yang digadang-gadang sebagai kota maju itu kini telah porak-poranda akibat menjadi medan perang. Mayat berhamburan di mana-mana, bau darah yang menyengat pada indra penciuman, Theresia benar-benar sudah luluh lantak. Namun, gadis dengan kimono ungu itu mengabaikan semuanya dan meneruskan larinya, berharap Dia akan baik-baik saja.

Telinganya tiba-tiba menangkap sebuah suara yang sangat keras, seperti benturan antara sesuatu. Detak jantungnya semakin berpacu, dadanya sesak dan panas, tanpa sadar mata gadis itu memanas. Ia terus berlari menuju sumber suara tersebut, mengabaikan fakta bahwa dirinya sudah beberapa kali hampir terjatuh.

Ketika sampai di tujuan, pemandangannya semakin mengerikan. Mayat-mayat berserakan di tanah, sebagian dari mereka tubuhnya sudah tidak utuh dan serpihan puing-puing memenuhi sekitar. Namun, yang membuat gadis dengan kimono ungu itu terdiam adalah keberadaan sosok gadis dengan kimono lilac yang tergeletak
begitu saja di tengah-tengah medan perang. Matanya membelalak dan napasnya semakin cepat, refleks ia berlari sambil berteriak.

"Mikoto!"

Gadis dengan kimono ungu itu menghampiri sosok bernama Mikoto yang kini terbaring sekarat dan penuh luka. Merangkul tubuh yang mulai kehilangan kehangatannya itu, mendekapnya dengan erat seolah tidak membiarkannya pergi. Mata yang sedari tadi memanas, kini tak kuat lagi untuk menampung. Alhasil, setetes cairan bening berhasil lolos dari netra violet gadis itu.

"Ma... koto..."

Gadis yang dipanggil Makoto itu tersentak, ia mengendurkan dekapannya lalu menatap wajah saudarinya, Mikoto. Tangis yang tak kuasa Makoto tahan membuat saudarinya terkekeh pelan, berfikir mungkin ini adalah terakhir kalinya sang adik akan memperlihatkan emosinya yang paling ia benci.

"Kenapa... kau datang?" tanya Mikoto lirih. Padahal dirinya tadi sudah berangkat dengan sembunyi-sembunyi, bahkan Pimpinan pun tidak tahu. Satu-satunya kemungkinan yang terpikirkan olehnya adalah bahwa Nona Miko memberitahu adik tersayangnya ini.

Pertanyaan sang kakak tidak Makoto jawab, tetapi rangkulanya mengerat. "Nee-sama, kenapa kau nekat? Kau tinggal memerintahkanku dengan satu kata maka aku akan pergi."

Mikoto kembali terkekeh pelan. "Aku tidak ingin merepotkanmu."

Lagi-lagi kalimat itu, mendengarnya kadang membuat Makoto muak. Padahal Makoto sendiri tidak merasa direpotkan, justru hanya inilah yang bisa gadis itu lakukan untuk membalas segala jasa sang kakak selama ini. Kenapa kakaknya ini begitu keras kepala?

Makoto kemudian menggeleng dan dengan sesegukan, gadis itu membalas perkataan sang kakak. "Tidak. Ini adalah tugasku, tugasku untuk melindungi Kakak."

Mikoto tersenyum kecil. Tangannya terangkat untuk menyentuh pipi sang adik, mengusapnya lembut seolah memberikan kasih sayang untuk yang terakhir kalinya. Dengan tenaga terakhirnya, ia kembali berucap,

"Makoto, hiduplah dengan bahagia. Jadilah dirimu sendiri dan jangan hidup dalam lingkar bayanganku. Jaga kesehatan dan... teruslah tersenyum, Adikku sayang."

Tangan Mikoto yang tadinya membelai pipi sang adik, kini jatuh ke tanah. Netra violetnya meredup dan napasnya pun berhenti, meninggalkan saudarinya dengan sebuah senyuman manis untuk terakhir kalinya. Tangis Makoto semakin menjadi-jadi. Ia menggoyang-goyangkan tubuh kakaknya meskipun tahu bahwa Mikoto tidak akan pernah bangun lagi. Kakaknya tidak akan membuka mata indahnya untuk dirinya, bernyanyi bersamanya ataupun mengusap pipinya dengan sayang.

Mikoto Minazuki telah gugur.

Suara teriakan pilu lantas terdengar dengan nyaring, menyiratkan rasa kehilangan yang teramat dalam. Makoto berteriak. Berteriak pada dunia yang kejam ini bahwasanya hari ini, seorang adik telah kehilangan kakaknya di medan pertempuran. Perang telah merenggut nyawa orang yang ia sayang.

Teriakan itu kemudian berhenti, menyisakan suara isakan seorang gadis yang kini merengkuh tubuh dingin saudarinya.

© To Be Continue ©

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

© To Be Continue ©

07/06/2022


*) Kimono: Pakaian tradisional Jepang
*

) Geta: Alas kaki tradisional Jepang yang terbuat dari kayu
*) Naginata: Salah satu dari beberapa senjata di Jepang. Umumnya senjata ini digunakan oleh prajurit Samurai Wanita atau Onna-Bugensha

Arcane FantasiaWhere stories live. Discover now