Chapter 2 : Menelisik Kekurangan

Start from the beginning
                                    

Barulah saat itu Andaru tau kilat sedih dibalik mata hitam Pamungkas yang sekelam malam. Ari meringis pun dengan Andaru yang pucat pasi.

"Ma-maaf." sungguh, andaru ingin menonjok dirinya sendiri. "A-aku nggak tau."

Ternyata Pamungkas Merangin lebih tegar dari yang Andaru kira. Dia sudah banyak melewati ujian dunia yang menyakitkan, menjadikannya lebih dewasa daripada anak seusianya. Senyum mengembangnya membuat Andaru semakin merasa tak enak hati.

"Nggak apa-apa kok. Aku masih bisa belajar walaupun nggak di sekolah."

Ari menyeringai. "Jalanan itu tempatnya ilmu pengetahuan, mungkas. Banyak sekali orang mendapat insipirasi di jalan. Hal lain yang tak kalah penting adalah, kau bisa memaknai kehidupan dari jalanan. Banyak pelajaran hidup disana."

Pamungkas mengangguk tanpa menyahut. Dia kembali tertarik ketika Andaru membahas topik buku.

"Buku olahraga, kamu punya?"

"Olahraga? Aku agak lupa, nanti ku cari tau ya." Andaru menyeringit. "Kenapa kamu tertarik dengan buku olahraga?"

Ari yang menjawab. "Dia suka main badminton, ru. Pinter dia main bulu tangkis!"

"Oh ya?" Andaru terbeliak. "Hebat! Kapan-kapan kita tanding, oke? Aku juga suka bulu tangkis."

"Boleh banget!" pekik Pamungkas. "Mainnya tapi malam ya, bang. Pagi sampai sore aku harus cari uang soalnya."

Deg

Andaru mematung, bagaimana bisa Pamungkas mengatakan hal menyedihkan itu dengan senyum bersyukur?

Dia masih sangat muda. Mencari nafkah bukanlah tugasnya, pamungkas lebih wajib belajar daripada berkeringat demi sebuah rupiah.

Rasanya, semakin Andaru hidup bersama mereka, banyak sekali yang menamparnya keras-keras.

"Dru, bersyukur, dru." Andaru bermonolog dalam hati. Dia merasa hatinya perih sekali entah kenapa.

"Ya Allah, maaf. Aku lebih sering melihat ke atas daripada ke bawah."

***

Jagad melirik Ari lalu Andaru bergantian, dia mendengus sekaligus membolehkan kedua laki-laki itu untuk masuk rumahnya. Namun Ari dan Andaru memilih duduk-duduk di teras.

Ari melirik pintu rumah Jagad, ada suara perempuan bersenandung yang kemudian hilang diganti pekikan. Ari menunduk, menyembunyikan senyum dan mengeluarkan sebungkus rokok.

Sementara Jagad kembali dengan satu buah tikar dan dua bungkus autan atau lotion anti nyamuk warna kuning.

"Nih." Jagad melempar begitu saja bungkus tersebut. "Pake itu anak orang kaya, makin malam nyamuk makin ganas! Aku tak mau Mamimu melihatmu sudah bentol-bentol."

Wajah Andaru kelihatan tersinggung namun tak membalas apapun. Dia berdiri saat Jagad menggelar tikar dibantu oleh Ari. Di latar rumah, ada api unggun yang sebenarnya lebih banyak membakar sampah.

Andaru heran mengapa orang-orang ini suka sekali membakar, apa ya kalau kata Ari... Ah! Tabunan. Ya, gitu deh kalau nggak salah. Nabun / Tabunan sebutannya.

Saat Andaru bertanya, ari malah mengerutkan kening lalu dengan gampangnya nyeletuk. "Karena banyak nyamuk!"

Yang sama sekali nggak membantu sekaligus koheren di kepalanya.

Jagad berdiri, kemudian menutup pintu rumahnya. Dia duduk dengan satu kaki terlipat didepan dada, tepat didekat api. "Jadi, kenapa mau kesini?"

Ari menunjuk Andaru dengan dagunya. "Tanya Tuan besar."

Kemiskinan Yang Tak TerlihatWhere stories live. Discover now