3 - Wedding Day

55 1 0
                                    

Lika masih berdiri menghadap cermin panjang dengan bingkai putih yang ada di kamarnya, sibuk menatap pantulan dirinya sembari membenahi rambut yang sudah beberapa menit lalu ia catok.

Sesekali mulutnya mengerucut jika mengingat alasan ia mau berdandan seperti ini pagi-pagi sekali. Apalagi kalau bukan pernikahan Kanya?

Ia tahu, sebagai junior di kantor sekaligus sahabat yang baik, seharusnya ia turut senang mendapati moment bersejarah Kanya hari ini. Tapi, tidak bisa dipungkiri, emosi itu tetap ada karena alasan yang ia perdebatkan dengan Kanya si calon pengantin beberapa hari yang lalu. Ia masih ingat, bagaimana dirinya menggebrak meja, hingga menarik atensi orang-orang yang tengah sibuk makan dan minum di kafetaria siang kemarin.

"Mbak Kanya! bisa-bisanya mau nikah di saat-saat kaya gini ya? Mbak Kanya nggak kasihan sama aku?"

Emosi Lika semakin menggebu-gebu karena mendapati Kanya yang berlagak santai dan malah menyeruput kopi yang mengepul di hadapannya saat mendengar ucapan Lika yang memecah keramaian jam makan siang.

"Ya maaf Li, aku juga nggak tahu, tiba-tiba cowokku dateng ke rumah sama keluarganya, terus ngelamar. Masa aku tolak?" Jawab Kanya enteng, sambil meletakkan kembali cup kopinya di atas meja.

"Terus aku ditumbalin gitu?" Lika masih tak terima.

"Bukan gitu, Li. Aku habis nikah udah ga kerja di sini lagi. Mau ikut suami."

Kali ini, mata Lika membulat, tak percaya dirinya menjadi korban.

"Lah, terus aku harus sendirian terbuang ke tempat terpencil, sementara mbak Kanya enak-enakan bikin anak, iya?"

Kanya yang sudah kembali menyeruput kopinya pun terbatuk mendengar ucapan ngawur Lika.

"Astagfirullah, nggak gitu, Lika! Kamu, mah jelek mulu pikirannya. Belu nggak seburuk yang kamu kira, kok. Banyak pantai, kan kamu bisa mampir-mampir, tuh. Sekalian piknik."

Lika merasa gila sekarang. Bagaimana bisa pengasingannya ke tempat terpencil disebut piknik? Yang benar saja!

"Mbak, ini Timor loh. Bulan lalu, aku ke Kalimantan aja yang masih Indonesia, rasanya udah di luar negara, gimana Timor, coba? Kenapa Bu Laras nggak ngirim aku ke Amazon aja sekalian biar abis dimakan anakonda!"

"Eh, jangan ngomong gitu! Lagian ini tuh bukan persis di Timornya, tapi di perbatasannya. Masih Indonesia juga." Jawab Kanya, sambil mengunyah burger yang baru saja ia gigit.

Lika tak menjawab, memilih menenggak kopinya dengan kasar. Sementara Kanya yang baru saja menelan burger yang dikunyahnya, kembali bicara,

"Li, katanya ya, di perbatasan itu banyak tentara yang jaga. Masih bujang-bujang."

Lika menelan kopinya dengan susah payah. Alibi macam apa lagi yang dilontarkan Kanya kali ini untuk sekedar menghibur dirinya.

"Lah terus?" Tanyanya.

Kanya tampak bersemangat, kemudian meneruskan ucapannya.

"Bisa, lah mepetin satu. Jadinya, kerja sekalian cari jodoh hehe. Sambil menyelam minum kopi."

Lika mengernyit.

"Kok kopi?"

Kanya meringis.

"Enak soalnya. Kalo air doang kembung."

"Apa, sih. Boro-boro nyari jodoh, bertahan hidup di sana aja aku nggak yakin bakal bisa."

"Yakin aja udah. Pasti bisa."

Lika menghembuskan nafasnya kasar. Bercerita seperti itu pada Kanya ternyata tidak memberikan pencerahan apapun, malah membuatnya semakin hilang kesempatan untuk selamat dari penderitaan.

I Found Love In The Loneliest City On EarthWhere stories live. Discover now