6 - Another First Day

26 1 0
                                    

Hembusan angin dari jendela kayu membuat pundak Lika naik tanpa sadar karena udara malam yang jauh berbeda dengan siang hari di sini. Kalau siang panas begitu terik sampai membuat tanah dan pepohonan mengering berbulan-bulan, malam hari justru kebalikannya karena dingin cukup mampu membuat tubuh seseorang menggigil bila tidak menggunakan jaket atau penghangat di tubuhnya. Seperti Lika contohnya.

Tubuh Lika sedikit berjingkat saat tiba-tiba ia rasakan sebuah kain membalut tubuhnya dari belakang. Kepalanya terangkat ke samping dan menemukan Arvan orang yang membalutkan kain itu di tubuhnya.

Beberapa waktu setelah keterkejutan mereka mereda akibat pertemuan tak terduga, Lika yang masih tak bisa berkata-kata justru tertampar oleh ucapan Arvan,

"Badan kamu membeku."

Dan saat itu, Lika mengumpulkan kembali puing-puing kesadarannya, bahwa tubuhnya nyaris sedingin es karena ia hanya mengenakan kaos lengan pendek dan celana jeans saat keluar untuk mencari sinyal tadi. Astaga, Lika sungguh ingin menghilang saat itu juga karena merasa seperti orang bodoh di hadapan Arvan.

Namun, alih-alih benar-benar menghilang, Arvan justru membawanya ke sebuah gubuk yang katanya menjadi dapur bersama untuk beberapa warga yang di rumahnya tidak memiliki dapur dan juga para prajurit tentara yang bertugas di daerah ini.

Lika tidak bisa menolak karena ia pun tidak punya cukup alasan untuk pergi cepat-cepat padahal ini adalah pertemuan kedua mereka yang tak terduga. Bukankah akan terlalu tidak sopan jika ia memilih untuk pergi dan menghindari laki-laki itu hanya karena ia merasa malu dengan pertemuan mereka?

Begitulah Lika berakhir di dapur ini. Sebuah gubuk yang mirip dengan rumah inap Lika dan timnya, hanya saja atapnya terbuat dari alang-alang, bukan seng seperti rumah inapnya. Ia duduk diam di sebuah kursi bambu, sembari memperhatikan Arvan yang tengah menunggu air yang ia rebus di tungku mendidih.

Tidak ada kalimat yang terucap dari bibir mereka. Lika menyadari kalau sikap laki-laki itu sedikit berbeda dari ketika pertama kali mereka bertemu di pernikahan Kanya. Ia seolah berubah menjadi tipikal orang yang banyak diam dan tidak suka basa-basi. Dan di momen itu juga, Lika menyadari, laki-laki itu sungguh tidak bercanda saat bilang dirinya adalah seorang perwira, melihat dari pakaian yang ia kenakan saat ini, sebuah kaos polos berwarna hijau army dan celana panjang loreng yang jelas menjadi identitas seorang prajurit TNI. Anggap saja Lika sudah benar-benar kehilangan kewarasan saat ia justru salah fokus pada postur tubuh dan garis wajah Arvan yang begitu kekar dan tegas. Hiks, Lika jadi merasa bersalah karena menuduhnya gay tanpa berpikir saat itu.

Tiba-tiba, sebuah cangkir dengan asap yang mengepul berada di depan wajah Lika, membuat ia membuang jauh-jauh apapun yang ia pikirkan tadi.

"Minum dulu biar anget badannya." Suara Arvan benar-benar membawa Lika kembali ke alam sadarnya dan mengambil cangkir yang diulurkan ke arahnya.

Lika memegang cangkir itu dengan kedua tangannya, merasakan hangatnya air teh yang mengepul dari dalam cangkir itu, membuat tubuhnya sedikit mulai menghangat. Matanya masih saja menatap ke arah Arvan yang kini sibuk menuang air panas ke satu cangkir lagi.

"Sumpah demi apapun, aku nggak nyangka bakal ketemu lagi sama kamu di tempat ini." Lika memulai obrolan karena merasakan suasana terlalu canggung karena sunyi.

Lika bisa melihat jelas senyum di bibir Arvan yang kini mengangkat cangkirnya dan beranjak duduk di kursi bambu di hadapannya.

"Memang ada yang salah dengan tempat ini?" Jawab Arvan, setelah ia terduduk kemudian menyesap teh dicangkirnya.

Lika melebarkan bola matanya, tak percaya dengan pertanyaan Arvan.

"Maaf banget, tapi kamu tahu kan kita lagi di perbatasan Timor? Itu aja udah cukup menjelaskan kalau tempat ini nggak baik-baik aja."

I Found Love In The Loneliest City On Earthحيث تعيش القصص. اكتشف الآن