1 - Bad Day

57 2 0
                                    

"A-nu-li-ka..."

Gadis berambut hitam sebahu yang semula terdiam duduk, kini menghembuskan nafas jengah, mendengar namanya disebut oleh sang atasan dengan nada seperti itu adalah pertanda nyawanya siap berakhir hari ini.

"...sudah berapa kali saya bilang, kamu harus bisa mendapat berita dan cerita unik dari orang-orang yang hidup di sana. Kenapa tulisan kamu isinya cuma cerita jalan-jalan?"

Anulika menegakkan bahunya, menaruh kedua tangannya di atas meja kerja sang atasan, bersiap untuk memberi penjelasan.

"Bu Laras, Sulawesi Barat itu pemandangan alamnya terlalu menonjol. Apalagi lautnya. Aneh, kalau saya nggak nulis tentang itu, bu."

Bu Laras, yang tak lain adalah ketua divisi yang menangani naskah di sebuah tim program televisi tempat Anulika bekerja, menatap gadis itu, tak habis pikir dengan jawaban yang baru saja ia dengar. Meski ia tahu anggota divisinya yang satu itu memang selalu memiliki ide-ide yang inovatif, tapi ia tak mengira apabila sedang kesal, Anulika bisa terlampau kreatif, bahkan berhasil membuat siapa saja naik pitam.

"Ya tapi, kantor bayarin kamu ke Sulawesi itu untuk kamu nulis lebih banyak informasi tentang kehidupan suku Mandar, Lika! Bukan buat kamu travelling!"

"Loh, nama program kita kan, Ragam Nusantara. Apa salahnya saya nulis tentang pemandangan di Sulbar? Kan bagian dari keragaman Indonesia juga, yang biasanya macet, banjir, korupsi. Iya, kan?"

Bu Laras memejamkan matanya, menghela nafasnya pelan, mencoba bersabar menghadapi anggota divisinya yang keras kepala satu ini. Kalau saja Anulika bukan peraih staff divisi kreatif terbaik dalam produksi Ragam Nusantara bulan ini, tidak menutup kemungkinan Bu Laras akan memutasinya ke divisi atau bahkan program lain karena kelakuannya yang selalu berhasil membuat asam lambung naik.

"Nggak salah, Anulika. Tapi kalau kamu mau meladeni pemandangan alam kaya gini, kamu banting stir sana jadi travel vlogger!"

Lika memutar bola matanya, tak sanggup lagi menerima omelan dari Bu Laras.

"Bu, tapi saya...."

Belum selesai ucapannya sudah dipotong oleh Bu Laras,

"Satu setengah tahun kamu kerja di divisi ini, kamu ngerti kan kalau program kita itu membahas tentang kehidupan tradisional dan tradisi masyarakat Indonesia? Hah?"

Dengan ekspresi setengah kesal, Anulika menjawab, "Ya ngerti bu."

"Nah, terus ngapain malah nulis naskah macam ini?"

Bu Laras menunjuk-nunjuk naskah yang ditulis Anulika. Memang, tidak ada yang salah dari omelan Bu Laras. Tulisan dalam naskah itu hanya didominasi oleh pengalaman jalan-jalan dan foto-foto pemandangan alam saja. Tapi, Lika punya alasan untuk itu.

"Bagi-bagi pengalaman aja bu." Jawab Anulika, asal ceplos.

Bu Laras memijat pelipisnya, mencoba sesabar mungkin menghadapi gadis di hadapannya, meski rasanya kepalanya sudah nyaris meledak saja.

Beberapa saat terisi diam. Anulika (si pelaku) yang sedari tadi terkena omelan, kini hanya diam menunduk sambil memainkan kursi kerja beroda yang ia duduki dengan mulut mengerucut. Sementara Bu Laras, sang atasan, tiba-tiba menegakkan badan, seolah mendapat ilham tentang suatu ide yang dapat ia jadikan pelajaran bagi gadis yang sedari tadi membuatnya geram itu.

Bu Laras membanting naskah yang sedari tadi ia pegang dan terduduk di kursinya, meghunuskan tatapan ke arah Anulika yang duduk berhadapan dengannya di seberang meja.

"Gini, deh. Bulan depan, akan ada pemilihan lima orang yang diberangkatkan untuk tugas liputan eksklusif ke Belu dalam rangka anniversary program kita."

I Found Love In The Loneliest City On EarthWhere stories live. Discover now