BAGIAN 31. [THERE ISN'T ANY]

Mulai dari awal
                                    

Pagi tadi setelah temannya itu keluar dari kamar mandi, Jendral langsung menanyai mengapa Nana begitu lama didalam sana. Namun yang dijawab temannya itu benar-benar berbeda dengan yang ia dengar ketika Nana tengah muntah didalam sana.

Nana menjawab jika pagi tadi dirinya mendapatkan panggilan alam dan berakhir harus masuk ke toilet. Namun tentu saja Jendral tidak percaya begitu saja. Pasalnya temannya itu semula meminta izin jika dirinya tengah pusing. Bukan hanya itu, mendengar suara seperti orang muntah dari dalam toilet saja bisa ia pastikan jika didalam sana Nana tengah berusaha untuk menyembunyikan semuanya.

Bahkan saja ketika jam pelajaran hampir selesai, temannya itu baru saja keluar dari tempat yang semula ia kunjungi. Membuat Jendral semakin yakin jika memang Nana tengah menyembunyikan sesuatu.

Satu hal yang ia heran, apakah keluarganya sama sekali tidak ada yang menyadari jika temannya itu tengah demam? Atau memang Nana yang memaksakan untuk pergi ke sekolah dengan keadaan yang seperti itu?

"Ayo! " Ajak Nana setelah ia berhasil menali sepatu nya.

Jendral hanya mengangguk-angguk saja, ia lantas segera berjalan mendahului temannya itu untuk pulang. Tepat sampai digerbang, ternyata jalanan cukup macet karena banyak siswa-siswi yang membawa kendaraan di dalam sekolahannya. Membuat banyak siswa yang ingin melewati jalanan itu saja harus mengantri.

Sepertinya setelah pulang, Nana harus segera meminum obatnya. Lelaki itu terus merasakan rasa tak enak badan sejak tadi pagi ketika berangkat kesekolah. Belum lagi dirinya hari ini mimisan dua kali, saat pagi dan juga ketika berada di kamar mandi tadi.

Untung saja temannya tidak tahu prihal hal tersebut. Dirinya memang bodoh ketika tengah berbohong.

"Bilang kalo Lo emang lagi sakit, kan? " Tanya Jendral tiba-tiba. Membuat Nana yang semula terdiam ditempat itu langsung menoleh kearah temannya.

Namun sebuah jawaban yang sama kini Nana berikan. Pemuda itu menggeleng pertanda jika ia memang tengah baik-baik saja.

"Dari pagi muka Lo pucet? "

"Enggak, ini emang kaya gini tiap hari. Gue mana pernah punya muka seger kaya Lo, " jawabnya kemudian kembali mengarahkan atensinya kearah depan. Disana pemuda itu lantas segera berjalan mendahului Jendral. Sengaja karena ia tidak ingin mendengarkan pertanyaan-pertanyaan bodoh dari temannya itu, atau yang ada akan membuat Jendral mengecapnya sebagai pencipta kebohongan yang tidak masuk akal.

Sedangkan Jendral yang semula berada dibelakang itu hanya menghela napas pelan. Seharusnya ia tahu jika temannya itu memang tidak baik-baik saja. Tidak perlu diperjelas karena dari raut wajahnya saja sudah bisa terbaca jelas. Tentu saja Nana mungkin merasa risih dengan pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Oleh karena itu, Jendral lebih baik memilih untuk diam saja setelah ini.

Kedua kaki Nana berjalan cukup cepat agar dirinya dapat segera menjauh dari Jendral. Bahkan saja hanya berjalan seperti ini, mampu membuat kedua kakinya cukup kelelahan.

Lemah sekali. Pikirnya.

Tidak mempedulikan rasa pusing dan sakit di tubuhnya. Pemuda itu tetap berjalan sambil menenteng tas nya dibelakang punggung. Jika dipikir-pikir, memang benar akhir-akhir ini mungkin otaknya tengah bermasalah. Entah mengapa dirinya sangat sulit untuk menyerap pelajaran yang diberikan oleh guru.

Semenjak sang kakak mengalami kecelakaan, fokusnya kini hanya kepada abangnya tersebut. Nana sama sekali tidak dapat belajar seperti biasanya ketika malam. Hanya Jeffin lah yang berada memenuhi dipikirannya.

Belum lagi dengan ayah yang semakin hari mungkin semakin tidak suka dengannya. Entah sejahat apa dirinya dimata kedua orang tuanya. Padahal semua itu hanyalah takdir tuhan yang sama sekali tidak ia tahu kapan terjadi.

Rasa takut terhadap sang ayah semakin besar hanya karena dirinya yang dipukul dan dihajar hingga disuruh untuk tidur diluar. Memang hal itu barulah sekali dalam hidupnya. Namun pengaruhnya begitu besar, apalagi ketika melihat perubahan ayah yang semakin berbeda.

Mungkin jika ia tidak ada diantara keluarga itu, mereka pasti baik-baik saja. Jika terus dipikirkan, semakin hari dirinya memang tidak pantas berada diantara mereka.

Jika boleh jujur, Nana sedikit cemburu. Memang benar disana kakaknya lah yang menderita atas penyakit yang sudah lama bersarang ditubuhnya. Namun apakah disini hanya Jeffin saja yang memerlukan kedua orang tuanya? Bahkan disaat dirinya sakit waktu itu saja, mama sama sekali tidak mempedulikan dirinya.

Sekedar menanyai saja, sama sekali tidak ada. Masing-masing keluarganya sibuk dengan urusan mereka dan juga putra sulungnya. Membuat Nana merasa seakan ia dilupakan begitu saja.

Sebuah kejadian yang tidak disengaja itu, seperti nya mampu mengubah pola pikir mereka masing-masing.

Mungkin jika bukan karena abangnya yang sangat menyayangi dan memperhatikannya, Nana pasti sudah merasa jika dirinya tidak dianggap diantara keluarga itu.

Ingin sekali dirinya merasa dibanggakan. Namun apa yang bisa dibanggakan dari anak yang sering sakit-sakitan sepertinya? Jangankan untuk bekerja, berada diluar ruangan saja sudah mampu membuat dirinya kehilangan kesadaran dan sesak napas.

"Memang apa yang bisa diandalkan dari ku? Dari anak penyakitan ini. " Gumamnya sambil menendangi batu-batu jalanan yang berukuran kecil.





°°°

Forgotten Nana [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang