Cerpen : Kado Ultah

Mulai dari awal
                                    

"Hah, iya, dua tahun sudah jarang ada tawa sehat yang tercipta," kini kalbunya yang bergeming.

"...tak akan pernah kulupa, bagaimana saat dulu aku duduk kursi reyot kelas, saat badanku terduduk menghadap kiblat, dan mataku liar namun jeli menatap keindahan yang ada di pojok kelas saat itu. Aku sering tersenyum sendiri saat memperhatikanmu, melihatmu pusing, rungsing, kesulitan saat mengerjakan soal, kadang ingin aku membantumu, namun jangankan untuk membantu, untuk ketahuan olehmu saat aku sedang memperhatikanmu saja jantungku rasanya ingin copot, untung ada paru-paru jadi dipegangin..."

Kali ini dibuatnya ingatan Warga Jelita bagai puzzle, kenangan yang satu persatu menyatu, membuat dada terasa penuh oleh rindu.

Sekitar pukul 01.45 kini, sudah hampir setengah pesan yang dibaca oleh Warga Jelita. Sudah 72 kali dia bolak-balik ke dapur untuk mengambil bongkahan es batu. Namun tak sedikit pun disentuh, cemilan berupa biskuit. Dapat diketahui sekarang, dia dapatkan darimana sifat dingin, dan acuh-tak acuhnya itu. Bahkan dia lakukan, meski pun itu ke cemilan.

"Hm... cukup menarik, dari tulisannya ini, kurasa dia cocok jadi penggembala komodo," entah ide darimana, dia menyebutkan bahwa Si Kurus ini layak jika menjadi penggembala komodo.

"...ya, kuharap, setelah tiga hari genap kau berusia tujuh belas tahun, atau sebelum hari itu pun, kau menjadi insan yang lebih baik dari sebelumnya, menjadi lebih jelita dari sebelumnya, selalu mendapat perlindungan dari segala apa pun, dan selalu meminta perlindungan hanya kepada-Nya. Dan kau selalu bisa menjaga porsimu dalam mengunyah bongkahan es batu..."

Warga Jelita terkekeh, sambil memandang es batu yang mulai mencair dan membuat gelasnya basah. Hampir satu bongkah es batu itu keluar dari multnya karena kekehannya itu.

Beribu kalimat harap dikirimkan oleh kontak itu. Beberapa ratusnya adalah harapan dirinya sendiri agar bisa bertemu dan bersama dengan si empunya hari jadi ini. "Aamiin, Rus aamiin,"

03.45, kumandang subuh hampir dikumandangkan, Warga sudah hampir selesai membaca pesan dari Si Kurus, kini nampaknya dia sampai di bagian yang kembali membuat dadanya sesak, terasa sempit dipenuhi rindu, kesal, dan seluruh pelemah hati.

"...kau tau? Dunia ini tak kan lama lagi memiliki kemurniannya, bisa dilihat dari sekarang, betapa banyak orang yang sudah membuang nuraninya, atau mungkin sengaja membununya. Kuharap kau selalu bisa menjaga nuranimu itu. Sangat ingin aku berjumpa denganmu, sangat ingin kubuat naik bibir indahmu itu, ingin lagi kurasakan tegur sapa hangat dari mata sayumu itu. Namun apa lah arti semua itu sekarang? Jarak kita hanya terbentang 286.3 KM dan jika ditempuh dengan berjalan kaki hanya perlu 2 hari 10 jam. Masih sangat mungkin, bahkan mudah untuk dilakukan. Dan kalau pun kita saling bertatap muka, apa keuntungannya? Kalau sore atau malamnya, kita saling membuka luka lagi, luka sama yang disebabkan oleh rindu yang sangat antagonis itu..." nampaknya bagian ini berhasil. Bukan hanya tangan dan gelas Warga Jelita yang basah karena es yang mencair, tapi kini pipi dan dagunya pun mulai melembab, bukan karena es batu yang meleleh, atau matanya meleleh, tapi karena hatinya dan ingusnya lah yang meleleh.

Namun itu tak berlangsung lama, karena beberapa kalimat selanjutnya kembali membuatnya tegar, dan semakin jelita. "...jangan buang air matamu sia-sia, itu mubazir namanya. Akan lebih baik kau berikan air matamu kepada yang lebih membutuhkan, seperti... dirimu sendiri. Ya, tangisi dirimu sendiri, ingat, tujuh belas tahun kebelakang, kau gores dengan tinta apa saja lembaran hidupmu? Yakinkah masih banyak lembaran kosong yang tersisa untuk kedepannya? Tentu jawabannya tidak..." aku tau. Aku tau apa yang harus kulakukan. Kurus, kau berhasil. Ujarnya.

"...hah, sudahlah, mungkin kau juga lelah membaca tulisan-tulisan ini, membosankan ya? Hehe, maaf. Ini lah aku, sulit sekali memang membuat orang tersenyum tuh. Baik, seluruh yang ingin kucurahkan sudah terkirim bermenit-menit lalu. Dan harapan terakhir ku, dan mungkin ini pinta terakhirku. Tetap jaga senyum manis dingin yang sering kau hemat itu. Dan pastikan itu tetap ada, sampai nanti, kau mau menemaniku keliling dunia tuk menebar perdamain dan kebahagiaan. Sekian, terimakasih mau membaca tulisan yang menyerupai rancangan undang-undang ini."

04.30 dimatikannya ponsel pintarnya itu, lalu dia beranjak menuju ke kamar mandi sambil membawa gelas dan cemilan yang tak sedikit pun disentuhnya untuk ditaruhnya lagi di dalam peti makanan yang sudah lapuk itu. Lalu ia melanjutkan perjalanannya ke kamar mandi, diambilnya wudhu untuk mengangkat panggilan subuh.

Ditemani kokokan ayam yang sedang gladi resik tuk menyambut matahari, dengan khusyu dilaksanakan ibadahnya itu. Di akhir, dengan khusyu juga, dia aminkan seluruh permohonan Si Kurus tadi, sesekali matanya berair, namun dia ingat. Jangan menangis kata Si Kurus.

Jarak mereka memang jauh. Dan kini otak pun sudah tak berpenghuni, Warga sudah memutuskan untuk pindah dari sana.

Tapi masing-masing dari mereka tau, hanya Sang Pendekat lah yang dapat mendekatkan mereka bagaimana pun caranya.

Kini baik Warga mau pun Kurus. Semua sedang menulis jalan cerita mereka masing-masing, dengan tinta terbaik yang mereka punya. Entah tersisa berapa lembar lagi dari masing-masing mereka. Yang jelas ada sebuah harap, agar suatu hari, tulisan mereka bisa menjadi satu alur, satu tujuan, satu akhir, dan satu titik.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Justify VI Feb 2022 | Fallen TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang