Ch. 43: Can time heal a broken heart?

Start from the beginning
                                    

Sontak, aku meremas jari-jari tanganku yang berada di bawah meja. Aku tidak siap bertemu dengan Aksa. Aku berani menjamin, di detik yang sama aku melihatnya, air mataku pasti langsung mengalir tanpa dapat kukendalikan. Sambil berusaha menahan rasa panik yang melanda, aku bertanya. "Aksa tahu gue ikut makan siang juga?"

"Nggak." Haris terkekeh. "Biar surprise."

Aku terus merutuk di dalam hati sementara otakku mulai berpikir keras untuk mencari alasan agar bisa pergi dari tempat ini secepatnya. "Gue—"

"Woi, Ris!"

Tubuhku berubah menjadi kaku setelah mendengar suara yang familiar di telingaku. Tanpa perlu membalikkan tubuh untuk melihat siapa orang itu, aku sudah mengetahuinya. Dengan rasa frustasi yang meningkat tajam, aku menenggelamkan wajahku di balik kedua telapak tangan. What should I do? Sudah terlalu terlambat untuk menyingkir sekarang.

"Gue lagi suntuk banget makanya—Luna?"

Aku menurunkan tangan seraya melemparkan senyum kecil dengan susah payah pada Aksa yang berdiri di dekat meja kami. Raut wajahnya tampak sangat terkejut. Dia menatapku dan Haris bergantian kemudian menggeram pelan begitu berhasil menilai situasi yang ada.

"Fuck," rutuk Aksa lirih, tapi masih bisa kudengar dengan jelas. Matanya menyorotku sendu sebelum berpaling ke Haris, menatapnya dengan tajam dan penuh perhitungan. "Sialan lo, Ris!"

Act normal, it's gonna be fine. Aku merapalkan mantra tersebut di dalam hati sambil berusaha sekuat mungkin menghalau air mata yang berkumpul di pelupuk mataku. Untungnya, tak lama kemudian seorang pelayan datang membawa pesanan kami. Akhirnya aku memiliki alasan untuk mengalihkan pandangan dari wajah Aksa yang terlihat begitu lelah.

"Hai, Sa," sapaku dengan senyum kecil yang agak dipaksakan.

"Luna." Aksa menganggukkan kepala singkat. "Gimana kabar?"

It only takes a blink of an eye and suddenly we become strangers again. "Baik."

"Sebelum lo datang, gue sempat nanya ke Luna," ujar Haris ketika Aksa sudah duduk di kursi kosong yang ada di depanku. Aku bisa merasakan Haris sedang tersenyum dan melirik iseng ke arahku meski aku sedang menunduk dalam dengan tatapan yang tertuju pada hotplate-ku. "Gue tadi nanya, hubungan kalian gimana soalnya gue nggak dengar kabar apa-apa lagi, tapi Luna jawab kalian nggak gimana-gimana. Kayaknya lo nggak dianggep sama Luna, Sa."

"Mulut lo mau gue cabein atau gimana, Ris?" omel Aksa, tidak menutupi kekesalannya. "Sorry, Lun. Haris mulutnya—"

"Mulutnya emang sampah." Aku melengkapi kalimat itu lalu mendongak. Detik kemudian, langsung merasa menyesal karena keputusanku itu membuat manik mata kami bertemu dan aku harus mengakui kalau aku merindukannya. Aku berdeham pelan, lalu lanjut berbicara. "Aku tahu."

Alih-alih tersinggung, Haris justru tertawa keras.

Aku meremas rok tiga perempat yang kupakai ketika mata Aksa masih mengunciku dengan lekat. Dan dengan mudahnya, semua kenangan kami muncul silih berganti di dalam pikiranku. Aku menarik napas dalam lalu membuang pandanganku setelah mengumpulkan segenap kekuatan. Sebaiknya aku segera menghabiskan makan siangku agar bisa segera menghilang dari tempat ini.

"Nggak usah bertingkah ya, Ris." Aksa memperingati. "Kalau Luna tersinggung, bisa abis diomelin lo sama Lisa."

Sepertinya ancaman itu cukup menakutkan untuk Haris karena dia akhirnya menggeser topik pembicaraan ke arah lain. Tentang bisnis dan lain-lainnya yang tidak begitu aku mengerti. Lebih baik seperti ini supaya aku bisa menghabiskan makan siangku tanpa gangguan.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now