| Chapter 34 | : Can't Control Myself

23 5 0
                                    

Aku tidak yakin dengan apa yang kusaksikan sekarang. Restoran milik cucu Paman Lu kosong. Sudah tutup sepertinya. Tirai abu gelap menutup setiap dinding kaca yang mengelilingi bangunan restoran baru itu. Aku celingak-celinguk di depan toko, kanopi dari plastik tebal dengan renda bulan sabit menjatuhkan rintik hujan di pundakku, sementara aku baru sadar payung tidak lagi dalam genggaman. Entah jatuh di mana, karena aku sama sekali tidak mengingatnya. Sulit mengontrol diriku sendiri di saat seperti sekarang ini.

Rambutku basah dan pundakku sama lepeknya dengan keadaanku sekarang. Aku masih mengamati sekitar jauh lebih panik lagi. Mengetuk kaca pintu restoran berkali-kali dengan gerakan cepat. Sudah seperti orang yang tak sabar meminta tagihan utang.

Tak lama tirai abu tua di dalam bergerak menyingkir ketika tangan kekar putih melakukanya. Wajah lonjong tampak muncul dari kaca yang terkena cahaya lampu temaram dari dalam. Itu Kanen, cucu Paman Lu yang sedikit kukenal, pernah sekilas Galan menceritakannya saat kami berdua terjebak hujan dan menepi di sebuah kafè. Saat Paman Lu meninggal. Kanen membuka restoran baru ini di kompleks miskin tak jauh dari rumahku.

"Apa ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dari dalam, karena hujan tidak turun selebat beberapa jam lalu jadi aku bisa menangkap suara berat Kanen.

"Galan di mana?" Aku tidak menjawab dan dengan tidak sabar malah balik bertanya.

Kanen terlihat mengamatiku sekilas dengan alis terangkat sebelah. Laki-laki usia dua puluh empat tahun itu terlihat heran melihat keadaanku saat ini.

Aku tidak peduli dengan tatapannya saat ini. "Di mana Galan?"

"Dia pergi sambil menelpon, seingatku!" teriaknya tidak terlalu lantang, akan tetapi nadanya terdengar lebih keras dari sebelumnya. Pasti dia terganggu oleh gadis basah kuyup yang menanyakan laki-laki hampir dewasa seperti Galan. Dikira aku seorang gadis tidak tahu diri.

Aku menjauh dari depan toko ketika Kanen kembali menutup layar tanpa memperdulikanku.

"Aria?"

Hampir saja isi dadaku melompat keluar, tubuhku menegang mendengar suara yang sangat familiar itu. Aku berbalik bada ke arah sumber suara dan betapa lapangnya dada ketika melihat Galan berdiri tak jauh dari tempatku. Dia memegang sebuah payung hitam lalu sadar bahwa aku tengah kehujanan. Jadi dia menarik langkah mendekat dan melindungiku dari rintik hujan yang semakin melebat. Jaket tebalnya menubruk bagian depan tubuhku yang sedikit kuyup.

"Kenapa kau berdiri di bawah hujan seperti ini?" tanyanya tanpa memberikanku waktu untuk merasa bersyukur dengan keadaannya saat ini.

Tanpa sadar atau mungkin betapa bahagianya perasaanku saat ini, aku memeluk Galan seerat mungkin meskipun basah di kedua mataku mulai terasa meluncur melewati pipi.

Galan tentu saja gelagapan dengan perlakuanku barusan, aku bisa merasakan gerakan kaku tubuhnya dan tidak stabilnya letak payung.

"Kau masih selamat, syukurlah," ungkapku sebelum dia berkata dengan nada gugup. Mungkin aku akan jauh lebih gugup kalau Galan tidak mengerti dengan sikapku sekarang ini.

"Memangnya kenapa? Kau menelponku dan-"

"Kau memutusnya tiba-tiba!" Aku memukul dadanya dengan kesal yang menggunung. Pelukanku terlepas begitu saja dan sontak wajahku memerah sesudahnya.

Galan mengedip kaku beberapa kali kulihat. "Tadi ponselku jatuh saat membantu seorang nenek tua yang membawa banyak barang sampai berjatuhan. Memangnya apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa kau begitu khawatir padaku?"

Aku mendengkus kecil, pertanyaan macam apa itu kalau dia tahu Hadiswa masih mengicar kita berdua. Mengerti arti dari keterdiamanku, Galan menghela napas.

THE SCREAM : Whos Next? ✔Where stories live. Discover now