03 | Namanya "Permainan Firasat"

113 42 43
                                    

Tebak apa yang terjadi begitu mama melihat aku pulang dengan Kelvin? 

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tebak apa yang terjadi begitu mama melihat aku pulang dengan Kelvin? 

Ayo coba tebak. Aku akan diam selama beberapa saat agar kalian dapat berpikir.

Anggaplah aku ini tokoh kartun pemeran utama di dalam film serial anak-anak yang beredukasi. Aku bertanya, lalu kalian akan menjawab. Nanti ujung-ujungnya akan kubilang "benar" walaupun jawaban kalian meleset. Yang penting kalian menjawab seolah-olah ada aku.

Oke, sudah bisa menebaknya?

Ya, benar.

Kelvin ditahan untuk makan siang.

Sosok ibu adalah makhluk paling mulia yang terkadang mudah dibaca dan ditebak, tetapi nyatanya beliau adalah sosok yang lebih sering membuat buah hatinya mengernyit kebingungan—atas perilakunya.

Nah, karena mama punya cincin emas yang disimpan baik-baik di laci perhiasan, buku nikah, dan akta kelahiranku, secara otomatis mama adalah satu dari sekian banyak sosok bernama "Ibu".

Lalu aku adalah "si buah hati" yang mengernyit kebingungan itu.

Ada satu fakta unik tentang mama: terkadang suasana hatinya bisa membuat hariku menjadi yang terburuk, terkadang juga mengubahnya menjadi hari yang terbaik. Tanpa alasan jelas, tanpa latar belakang serinci karya ilmiah. Bila memang ingin, maka terjadilah.

Kali ini, mama dengan random-nya menyambut kedatangan kami di teras. Pakaiannya rapi, ada helm menjepit kepalanya, dan tangannya menenteng sebuah plastik besar bercetak segiempat dengan logo sebuah merk yang sudah kuhafal dengan baik.

Piza.

"Eh, ada Kelvin?" Mama berseloroh. Agak kerepotan membuka helm sambil mengeluh gerah, tetapi masih tersenyum senang karena ada anak tetangga. "Tante beli piza, nih. Panggil Lila sama Kahla, gih. Kita makan bareng di sini."

Namun, Kelvin menolak. "Eh, enggak usah, Tante. Habis ini Kelvin juga mau balik lagi."

"Main lagi?" Pertanyaan mama terus mengalir bak reporter. Kali ini nadanya agak mengintimidasi. "Kalau gitu makan dulu, ayo."

Aku nyengir kuda saat melihat bahu Kelvin turun. Tidak ada tanda-tanda perlawanan, dan itu berarti acara main mereka juga tidak urgen-urgen amat. Bisa ditunda untuk makan siang sejenak.

Lagi-lagi hari ini aku menyadari, bahwa memang ternyata tidak ada yang bisa mengalahkan sosok ibu, meskipun ibu tetangga.

Sembari menonton Kelvin yang tengah duduk bimbang di atas motor, aku bertanya, "Tante Indri lagi enggak di rumah?"

"Enggak," jawab Kelvin sekenanya. Masih diam di atas motor.

Dalam hitungan detik yang panjang, tatapannya terpaku pada setang. Saat sudah bosan barulah dia kasak-kusuk mengeluarkan ponsel pintarnya dari saku jaket dan mendadak fokus memainkan benda itu.

Fotocintasis #2: 17 TahunWhere stories live. Discover now