Sechzehn

86 21 6
                                    

Cita-cita? Aku tidak punya, hingga kau datang ke hidupku dan mengubah segalanya.
.
.

Amerika, November 1942

Tepat dua bulan yang lalu, setelah berlayar selama kurang lebih empat belas hari, Adam dan beberapa prajuritnya tiba di Amerika dalam keadaan selamat tak kurang suatu apapun.

Kala itu ibu dan ayah sudah datang menjemput, menangis haru begitu melihat kepulangannya. Mereka mengucap syukur tak putus-putus kepada sang Khalik —atas berkat yang luar biasa.

Adam bahagia, tetapi di satu sisi sedih juga mendominasi. Adam pikir ketika melihat ayah dan ibunya, ketika pulang ditempat ia dibesarkan, hatinya akan kuat, hatinya akan menerima keadaan, mengikhlaskan cinta pertamanya yang singkat. Namun ia salah memprakirakan itu semua.

Kian hari hatinya semakin gundah, bayang-bayang gadis itu sama sekali tak membiarkan akal sehatnya untuk beristirahat dan ia tidak tau harus melakukan apa sekarang, selain memilih untuk mengheningkan cipta dan mulai khusuk dalam doa.

Didepan pintu kamar, ibu berdiri menatapnya dalam diam dan penuh tanya. Mungkin ibu sudah tau ada yang tidak beres pada tingkah lakunya selepas pulang dari bertugas —dan itu berdasarkan naluri kuat seorang ibu.

Ketika doanya usai, ibu berjalan masuk, tersenyum padanya, menepuk punggungnya lembut dan membawanya untuk duduk ditepian ranjang.

Hati Adam terasa sejuk melihat senyum ibunya, tanpa alasan apapun Adam memeluk ibu begitu erat, layaknya anak kecil yang sedang bermanja pada ibu mereka —bedanya, ia adalah pria dewasa berusia dua puluh tiga tahun. Walau begitu, ibu tetap menyambut pelukannya. Bagi ibu, ia tetaplah putra kecil ibu, tak memandang berapapun usianya dan Adam mensyukuri itu.

Ibu benar-benar pandai menebak hal sekecil apapun didalam dirinya, terbukti dari pertanyaan yang ibu lontarkan disertai tangan ibu yang kini mengelus puncak kepalanya dengan penuh kasih sayang.

"Ada apa nak? Akhir-akhir ini ibu lihat jadwal doa mu kian bertambah. Ingin menceritakan pada ibu?"

Adam mengangkat wajah menatap ibu dengan tatapan penuh perasaan yang bercampur aduk. Tiba-tiba Adam jadi bingung ingin bercerita dari mana dan pada akhirnya ia pun memulai dari pokok permasalahan yang sedang ia alami. "Bu, aku mencintai seorang gadis berusia tujuh belas tahun. Aku bahkan memberikan kalung pemberian ibu padanya."

Ibu tidak terkejut ketika ia mulai bercerita, senyum ibu semakin menghangat. "Lanjutkan, nak. Ibu akan mendengarnya."

Adam menghela nafasnya cukup dalam, dadanya tiba-tiba terasa sesak, namun pertahanannya masih kuat untuk tidak menangis. Ia melepas pelukannya dari ibu, kemudian membawa telapak tangan ibu untuk ia genggam, sebagai penguat hati. "Dia putri bangsawan Hesse, tetapi dia berbeda."

"Dia bilang, dia mencintai ku, walaupun kami baru empat hari menghabiskan waktu bersama, sangat lucu, bukan?"

Adam memperhatikan gurat wajah ibu yang tampak tak setuju dengan ungkapannya. "Nak, cinta tulus tidak memandang berapa lama kebersamaan kalian. Ibu merasa, dia gadis yang cukup baik. Dia bahkan menerima kalung sederhana pemberian mu tanpa menolak itu—"

"Tetapi, kami berbeda bu. Dia putri bangsawan, aku adalah putra ayah dan ibu, aku tidak mengeluh akan status ayah dan ibu. Sungguh, aku bersyukur dan bahagia. Hanya saja—" Adam tiba-tiba tak sanggup melanjutkan kata-katanya, wajahnya menunduk dan hal itu membuat ibu segera menangkup wajahnya dan mengangkat wajahnya.

"Apa dia mencintai mu karena kau putra keluarga bangsawan?"

Adam menggeleng pelan.

"Kau bilang, dia berbeda. Apa itu belum cukup membuktikan keteguhan hatinya?"

I WILL WAIT FOR YOUМесто, где живут истории. Откройте их для себя