Sechs

111 30 4
                                    

Eve tau bahwa dimanapun ia pergi, bertemu dengan para korban peperangan memiliki presentase yang lumayan besar. Eve tau bahwa dimanapun ia pergi melihat tumpukan mayat atau para manusia yang sekarat adalah hal yang lumrah. Tetapi barang sedikit pun ia tidak pernah menyangka akan melihat korban itu memakai seragam berbeda dari seragam tentara di negaranya.

Eve ragu mendekati lelaki itu setelah sebelumnya, amat sering mendengar beberapa dongeng yang Albert lantunkan untuknya —bahwa tentara musuh itu bengis, mereka tidak memiliki hati, sekali melihat lawan, walau itu wanita sekalipun, pasti akan dibunuh.

Merinding? Ketakutan? Tentu, Eve bukanlah gadis pemberani seratus persen, meski ia keras kepala, tetap saja dalam jiwanya, memiliki perasaan sejuta umat —takut. Eve hendak meninggalkan lelaki itu, namun benaknya seakan tak selaras dengan akal dan raganya —meladeni rasa takut dan rasa prikemanusiaannya— ia malah berjalan mendekati lelaki itu. Dan betapa terkejutnya ia ketika melihat lelaki itu dengan kondisi yang —miris, lelaki itu bisa meregang nyawa kapan saja.

Tanpa pikir pajang, Eve berlari mendekati lelaki itu. Eve bahkan yakin kehadirannya pun mungkin terasa seperti mimpi —karena lelaki itu sepertinya sudah sampai ke fase antara hidup dan mati. Tak ingin membiarkan lelaki itu meregang nyawa dihadapannya, Eve mengambil seluruh obat-obatan yang ia punya. Mengambil seluruh peralatan medis yang ia punya, melakukan hal yang semestinya hanya boleh di legalkan untuk seorang dokter.

Eve tidak peduli jika ia akan diadili setelah ini, pikirnya hanya satu, fokus menyelamatkan lelaki dihadapannya.
"Tuan, tolong tetap bersama ku. Kita harus berjuang bersama." Ucap Eve. Ia berusaha untuk tetap menjaga kesadaran lelaki itu —walau mata lelaki itu sudah tertutup sempurna— Eve tidak patah semangat. Eve yakin mukjizat itu nyata dan keyakinannya terjawab, lelaki itu terbangun dengan teriakan dan ekspresi syok.

"Siapa kau?" Ucap lelaki itu memakai bahasa yang berbeda dari bahasanya —dan Eve memahami bahasa itu, berterimakasih pada ayah dan ibu yang memberinya pendidikan layak. Lelaki itu tiba-tiba mengambil pistol dan menekan pistol itu pada pelipisnya. Eve bergidik ketakutan, akan tetapi ia mencoba untuk bersikap tenang. Mencoba untuk meyakinkan lelaki dihadapannya ini kalau ia bukanlah orang yang mengancam nyawa lelaki itu.

"Aku adalah seorang suster." Ucap Eve dengan bahasanya —Eve tak ingin lelaki itu mengetahui kemampuannya. "Aku sedang berusaha menolong mu." Ucapnya lagi sembari memperagakan menggunakan bahasa tubuh —berharap agar lelaki itu memahami maksud perkataannya.

Masih dengan tingkat kewaspadaan yang belum diturunkan oleh lelaki itu, kini lelaki itu sedang menilisik dirinya. "Apa kau utusan Jerman?"

Eve menggeleng dan betapa terkejutnya Eve ketika mendengar lelaki itu berbicara menggunakan bahasanya. "Kau memahami bahasa ku?" —lantas, apa gunanya ia memperagakan menggunakan bahasa tubuh?— Eve tertawa pelan merutuki kebodohannya —melupakan satu fakta, bahwa lelaki dihadapannya ini masih belum menurunkan pistol dari pelipisnya. "Aku seorang suster, aku tidak memiliki senjata apapun kecuali peralatan bedah."

Lelaki itu akhirnya sedikit percaya, pistol dipelipisnya kini sudah berpindah diatas tanah. Eve memperhatikan lelaki itu yang kini sedang meregangkan leher, menutup mata dengan hembusan nafas lega. "Terimakasih."

"Anytime." Eve tersenyum membalas ucapan lelaki itu sembari membereskan barang-barangnya. Dengan keberanian yang ia miliki, Eve memutuskan untuk melanjutkan perbincangan diantara mereka. "Dimana pasukan mu, apa mereka meninggalkan mu?"

"Untuk apa kau bertanya?" Untuk kesekian kalinya, lelaki yang belum ia ketahui namanya, menunjukan sikap waspada.

"Ah, maafkan aku. Sungguh aku tidak memiliki maksud lain." Eve mengangkat kedua tangannya ke udara —sepertinya, Eve mungkin akan mengalami kesusahan untuk membantu lelaki itu. "Tuan, bolehkah aku mengetahui nama an—"

"Tidak perlu. Kita berpisah sampai disini. Terimakasih atas budimu." Setelah menyela perkataannya, lelaki itu mencoba bangkit dengan tenaga seadanya, hendak meninggalkan Eve.

Tentu saja, Eve tidak setuju membiarkan lelaki itu berkeliaran ditempat seperti ini, Eve takut jika lelaki itu akan menjadi sasaran empuk tentara dari negaranya. "Tuan, anda belum pulih. Tetaplah disini, dan ikut aku untuk pulang. Aku akan merawat anda, ketika anda sembuh aku akan membantu anda untuk pulang."

000

Adam menahan rasa sakit yang menghantam seluruh tubuhnya, untuk berdiri ia bahkan memerlukan tenaga ekstra. Adam mengerang pelan tatkala merasakan jahitan diperutnya bergesek dengan kasa steril yang dipasang oleh perempuan dihadapannya. Sekuat tenaga, ia ingin berjalan meninggalkan perempuan itu, namun langkahnya terhenti tatkala mendengar perempuan itu memperkenalkan diri padanya.

"Nama ku Eve Lorraine Hesse, aku seorang suster. Percayalah aku akan merawat mu setelah kau sembuh, aku akan membantu mu pulang ke negara mu, tuan. Berkeliaran ditengah hutan belantara seperti ini, membahayakan nyawa mu. Banyak tentara yang berjaga disekitar sini dan kau hanya sendirian. Tolong, percayalah pada ku."

Adam menghembuskan nafasnya kasar. Ia tidak yakin, apa ia harus percaya pada perempuan bernama Eve ini? Adam tak menampik bahwa perkataan Eve benar adanya. Dengan kondisinya dan keadaan yang tidak kondusif, kecil kemungkinan ia akan selamat kalau tetap mengikuti egonya. Dengan begitu, ia memilih untuk duduk kembali dan percaya pada Eve —walau nyatanya, ia mendapati suatu kejanggalan pada perempuan itu. "Kau bilang kau seorang suster, bukan? Lalu mengapa kau memiliki marga Hesse?"

Melalui ekor matanya, Adam yakin bahwa Eve sedang terkejut, perempuan itu bahkan sudah berpindah kehadapannya, menatapnya dengan tatapan seolah tak percaya. "Apa kau tau siapa aku?" Tanya Eve terkesiap.

Tanpa menghiraukan ucapan Eve, Adam kembali bertanya. "Untuk apa nona kaya raya seperti mu berada di tempat ini?"

"Apa semua tentara memiliki kecerdasan seperti mu?" Eve menelan air liurnya dengan wajah sedikit memucat. "Sungguh, ku pikir kalian hanya belajar mengenai taktik berperang dan menghafal tokoh-tokoh penting saja. Apa jangan-jangan keluarga kami juga menjadi incaran kalian?"

Adam nyaris tertawa kalau saja ia tidak ingat, harus mewaspadai Eve —walau nyatanya gadis itu sudah menyelamatkan nyawanya. Adam berdecak pelan. "Kami tidak sejahat itu, nona."

Eve memegang dada, menghela nafas lega dan hal itu tak luput dari penglihatannya. "Syukurlah, ku pikir kalian sejahat itu. Karena kau memutuskan untuk tinggal, itu artinya, kau percaya pada ku bukan?"

Dengan keraguan yang sudah tidak diladeninya, Adam mengangguk.

"Kalau begitu, aku akan merubah sedikit penampilan mu agar kita bisa keluar dari sini dengan aman."

Alis tebal Adam mengerung bingung, belum menangkap maksud perkataan Eve dan selanjutnya kebingungan itu terjawab, berkat ide brilian perempuan itu yang mengubahnya tampak berbeda.


I WILL WAIT FOR YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang