Fünfzehn

111 22 19
                                    

Dia mengatakan, perasaan ku akan tergerus dengan seiringnya berjalan waktu.
Tetapi, perkiraannya salah. Aku masih mencintainya sepenuh hati, tidak ada yang berubah, karena jiwa dan raga ini tercipta hanya untuknya.
Pada suatu malam di bulan Desember, masih di tahun yang sama, aku memberanikan diri untuk menemui orangtua ku dan hari itu adalah kali pertama aku berani mengambil keputusan terbesar di dalam hidup ku.

Untuk mengejarnya, mengejar separuh jiwa ku.

.
.
.

September, 1942

Eve merias dirinya dengan riasan paling cantik yang pernah ia lakukan. Ia mematutkan dirinya didepan kaca, tidak ada air mata, tidak ada suara pilu, hanya ada ketegaran jiwa yang ia pupuk untuk mengantarkan sang pujaan hati kembali ke negara asal.

Dress biru panjang, terpasang apik ditubuh tinggi langsingnya, begitu padu dengan warna kulitnya yang seputih susu. Lalu, pada rambut pirang panjangnya yang indah, ia biarkan tergerai hingga menjuntai sebatas paha.

Eve mengambil trench coat senada dengan trench coat yang dipakai Adam hari ini. Trench coat berwarna coklat tua. Kakinya terbungkus dengan sepatu hak tinggi berwarna putih lalu lehernya dihiasi oleh kalung emas putih dengan ukiran sederhana —yang merupakan hadiah-hadiah terakhir pemberian dari Adam.

Eve menarik nafas kemudian menghembuskannya perlahan, terus bedrulang hingga hatinya sedikit tenang. Dengan langkah mantap ia akhirnya keluar menemui Adam yang sudah berdiri sembari menyodorkan lengan lelaki itu agar segera ia raih dan gandeng.

Didalam mobil, sudah ada Albert yang bertugas menjadi sopir —walau keadaan lekaki itu belum pulih, tapi Albert tetap memaksa, karena bagi lelaki itu, Adam sudah seperti saudara sendiri, yang harus diantarkan dengan selamat sampai ke pelabuhan.

"Kau sudah siap?" Adam berbisik padanya sembari menatapnya dengan tatapan lembut. Tidak ada tangisan hari ini, mereka sudah membuat janji itu.

Adam mengatakan jika Tuhan berkehendak mereka akan dipertemukan kembali, namun jika hari itu tak kunjung datang, Adam berpesan, "di dunia yang mengerikan ini, kau harus terus berjuang hidup, tidak peduli seberat apapun itu, kau harus menikah dan memiliki putra dan putri yang lucu, hingga tiba saatnya aku datang kembali kesini, aku bisa tenang, karena hidup mu sudah bahagia."

Eve tidak setuju kalau pria itu bukan Adam. Ia menolak dengan tegas permintaan lelaki itu. Namun, ia bisa apa? Nyatanya apapun usahanya tidak mampu menghentikan kepergian lelaki itu, hari ini.

Eve meyakinkan hatinya, ia harus tegar. Tidak boleh melanggar janji mereka kemarin, dengan begitu, lengan Adam, diraihnya dan digandengnya dengan lembut lalu pada wajah cantiknya, terukir senyum tulus penuh perasaan cinta. "Aku sudah siap. Ayo berangkat."

"Hei, pells! Apa kalian masih lama? Tick tack!" Albert memecah suasana suram diantara mereka, dengan suara penuh jenaka sembari menunjukan waktu di arloji yang dikenakan lelaki itu, seolah lelaki itu sedang berpura-pura memarahi mereka karena telah membuang-buang waktu.

Terimakasih, Albert.

000

Suasana pelabuhan Hamburg kala itu cukup ramai, banyak para penumpang yang sedang berlalu lalang disana.
Ada yang sekedar membeli jajanan pada pedagang yang berjualan disekitar, bercengkrama, bahkan ada para pasangan yang saling berpelukan melepas rindu untuk orang terkasih yang sebentar lagi berlayar.

I WILL WAIT FOR YOUOù les histoires vivent. Découvrez maintenant