Bab 5

311 67 26
                                    

Acara book tour Love Risk Management akan digelar di lima kota: Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, dan Bandung. Sedangkan agenda yang pertama berlokasi di salah toko buku kenamaan daerah Jakarta Selatan. Rencananya, selain bincang-bincang santai yang mengupas isi buku dan suka duka proses pembuatannya, akan ada juga games dengan doorprize menarik. Bahkan, beberapa peserta beruntung nantinya akan mendapat kesempatan makan bareng dengan penulis setelah rangkaian acara selesai.

Sungguh di luar prediksi, karena jumlah peserta yang hadir ternyata melebihi target panitia. Antusiasme para pembaca cukup baik, apalagi dengan kehadiran Fatyra selaku editor yang membuka sedikit dapur penerbitan. Pembawaan yang luwes akibat terbiasa shooting video endorse makanan, membuatnya sama sekali tidak kaku ketika menjawab pertanyaan. Bahkan kelakar-kelakar yang diselipkan, berhasil membuat suasana semakin segar.

Maka tidak mengherankan ketika beberapa pembaca ingin foto bareng dengan Fatyra selain dengan penulisnya tentu saja.

"Udah cocok lo jadi stand up comedian, Fat. Basic lo udah oke," canda Armand begitu seluruh rangkaian acara selesai termasuk sesi makan siang. Mereka kebetulan berangkat bareng dengan mobil Armand, terpisah dari panitia lain yang menggunakan mobil operasional kantor.

"Jadi pelawak kali, Mas. Kalo mau bilang gue mirip Nunung Srimulat gak apa, sih." Fatyra hanya menyengir.

"Dasar lo ya. Bukan gue yang ngomong loh." Armand langsung terbahak. Namun beberapa saat kemudian, ia malah menarik lengan Fatyra memasuki sebuah toko pakaian kenamaan. "Btw, temenin gue beli sesuatu bentaran ya. Gak buru-buru balik, kan?"

"Mau shopping apaan lo, Mas?"

"Gue butuh baju baru. Rasanya cuma punya itu-itu doang."

"Yaudah ayok."

Biasanya, istilah 'kehabisan baju', akrab sekali dengan kaum perempuan. Mereka kerap kali merasa pakaiannya hanya itu-itu saja, padahal ketika membuka lemari ... isi factory outlet sudah pindah ke sana semua! Maka apabila yang mengatakan kalimat tersebut lelaki, harusnya terkesan agak geli. Namun kalau Armand orangnya, entah kenapa bagi Fatyra terasa wajar. Bisa jadi karena Fatyra percaya bahwa Armand melakukannya sebatas demi menjaga penampilan sebagai marketing. Bukan metroseksual yang aneh-aneh bagaimana.

Mereka pun mulai berkeliling. Dan, setiap kali akan menjatuhkan pilihan, Armand melibatkan Fatyra. Pendapatnya bahkan selalu didengar. Lelaki itu bilang, selera seorang model pasti bagus. Tidak akan melenceng.

"Please, deh, Mas. Jangan sebut gue model mulu. Gue jadi merasa diri ini setara sama Kendall Jenner," protes Fatyra sembari mengambil sebuah baju lengan panjang berwarna milo.

Karena kulit Armand berada di pertengahan antara terang dan gelap, alias sedang-sedang saja, maka warna itu rasanya pas bila ia kenakan. Apalagi modelnya yang semi formal bisa digunakan hang out atau juga ke kantor.

"Kalo lo Kendall Jenner, terus gue Devin Booker-nya gitu?" balas Armand disertai kekehan ringan. Lantas tanpa menunggu respon, ia malah menyambar baju yang sedang Fatyra pegang tadi. "Bagus, nih. Gue coba dulu ya," lanjutnya seraya mengeloyor menuju ruang ganti.

Armand hanya tidak tahu saja kalau candaan sepele tadi, membuat si Kendall Jenner wannabe jadi terpaku di tempat selama beberapa saat.

"Tu orang enteng bener dah ngomongnya. Padahal jantung gue sampe jedag-jedug," gumam Fatyra, mengelus-elus dada.

Daripada bengong menunggu, ia pun melipir ke area baju perempuan. Tidak ada tujuan membeli tentu saja. Karena selain tanggal sekarang masih jauh dari gajian, jelas-jelas ukurannya juga tidak akan ada. Kondisi-kondisi khusus seperti itulah yang kemudian diambil oleh pengusaha fashion sejenis Over Size. Yaitu untuk memenuhi kebutuhan orang-orang berukuran tubuh spesial.

Lantas ketika melewati sebuah manekin yang mengenakan midi dress berwarna milo, Fatyra tiba-tiba mengerem langkah. Tanpa bisa dicegah, matanya menelusuri tiap detail. Modelnya sederhana tapi cantik! Ada sedikit variasi di pinggang yang disambung melintang hingga ke bawah. Sementara lengannya mengembang seperti balon. Pasti bagus kalau yang si pemakai punya tubuh langsing dan kaki yang jenjang.

"Ini bagus juga, Fat. Couple loh sama yang gue." Suara Armand yang disertai embusan napas hangat menyapu pucuk kepala, membuat Fatyra refleks menoleh.

Jarak mereka yang terlalu dekat, resmi membuat jantung Fatyra jumpalitan. Brewok tipisnya itu loh Mas Armand ... bikin lemas.

"Beli yuk biar samaan. Terus tar kita pake barengan di moment apaa gitu," ajak Armand lagi.

"Hehe. Gak ah, Mas." Sementara Fatyra jadi menggaruk tengkuk.

"Kurang suka?"

"Suka, kok."

"So? Belom gajian? Gue talangin dulu, deh."

"Bukan itu. Gak akan ada ukurannya buat gue, Mas."

"Hooo." Kali ini giliran Armand yang menggaruk tengkuk dengan sedikit canggung. "Yah, padahal sayang banget ya. Gue bayangin lo pasti cantik banget pas pake itu."

***

Selama ini, Fatyra bukan termasuk tipe yang 'sampai kepikiran banget' terhadap sesuatu. Ia bahkan masa bodoh saja terhadap apa kata orang. Selama ia tidak merugikan atau berbuat jahat pada mereka, ya sudah.

Namun, ucapan Armand tadi siang tentang dress itu entah kenapa terus mengusik ingatannya.

Untuk pertama kali, Fatyra mengutuki bentuk tubuhnya yang lebih mirip buntalan karung.

Kalau diperhatikan, pipinya memang kembung. Lipatan-lipatan jenuh di perut seperti tumpukan kue bantal. Belum lagi lengannya semakin mirip dengan pegulat. Bukan besar oleh otot bisep dan trisep, melainkan lemak! Argh! Jangan bilang kalau awalan timbangannya kini sudah menyentuh angka delapan!

Ukuran XL pun tidak akan cukup. Paling mentok sampai masuk ke leher saja. Kalau dipaksakan bisa-bisa sobek.

"Apa gue harus diet?" Fatyra bertanya pada udara.

Sedetik kemudian, tubuh bohai itu dihempaskan sekaligus ke atas tempat tidur. Untung saja kasurnya tidak menggunakan ranjang. Karena kalau iya, bisa-bisa kakinya patah.

"Emang cantik itu selalu identik dengan langsing?" gumamnya lagi.

Merasa kesal sendiri, ia mengacak-acak rambut hingga menyerupai sarang burung. Sebuah bantal kemudian digunakan untuk menutupi wajah.

Fatyra memang selalu meyakini bahwa kecantikan itu relatif. Semua orang punya tolok ukur dan standar masing-masing yang tidak bisa dipaksakan. Apabila menurut si A cantik itu harus tinggi, super langsing, putih pucat, dan rambut lurus panjang, maka bisa saja menurut si B tipe seperti itu lebih mirip miss. K. Karena dalam persepsi si B, cantik itu mungil, berkulit eksotis, dengan rambut yang dipangkas pendek. Seberagam itu selera orang.

Makanya, selama ini Fatyra santai saja ketika orang mengomentari fisiknya sampai bagaimana. Bahkan tanpa sadar, ia kerap mem-bully diri sendiri duluan sebagai bahan candaan.

Tetapi sekarang, Fatyra mulai berpikir ulang. Tidakkah selama ini ia terlalu memaksakan sebuah pembenaran? Apakah ia hanya menciptakan teori demi kepentingan diri sendiri?

Semua lamunan itu lantas harus terputus karena suara dentingan ponsel yang terus mengganggu. Masih dalam posisi terlentang, Fatyra pun meraih benda itu dengan malas. Pesan masuk teratas ternyata dari Gaya, manager Over Size yang biasa berhubungan langsung dengannya terkait masalah job pemotretan.

Mbak Gaya
Cyn, jangan lupa Sabtu ini ada pemotretan.
Model baru udah turun nih.
Cakep-cakep deh potongannya.
Tar gue bisikin July biar lo bisa sekalian bawa pulang.
*send picture*

Biasanya, Fatyra akan langsung bersemangat membaca pesan sejenis itu. Namun kali ini, semua terasa campur aduk. Bahkan ujung-ujungnya malah hambar.

Dengan lesu dipandanginya gambar yang barusan Gaya kirim. Sebuah dress berwarna hijau tua dengan potongan melebar dari pinggul ke bawah sedang dipakaikan pada manekin jumbo. Tidak ada variasi meriah tentu saja. Karena hanya akan menambah kesan gemuk bagi si pemakai kelak.

"Gue maunya bukan pake dress ini, Mbak," lirih Fatyra dengan tatapan nanar. []

Fat Fit [✓]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon