Dahi Tama mengernyit mendengarnya. Sejenak, ia benar-benar tak mengingat soal hari lantaran kelewat sibuk memikirkan Luna. "Oh, iya! Kalau begitu, Putri mau tidur bareng Abang malam ini?"

Putri mengangguk antusisas lalu berlari mengambil dua boneka beruang yang tadi ia letakkan di depan pintu kamar Tama. Bocah tersebut menyusun mainannya di pertengahan lantai ruangan kemudian aktif bergerak lagi mencari sesuatu untuk ditambahkan.

Setiap akhir pekan, Putri gemar mengunjungi satu-satunya kamar di lantai dua untuk bermain dan tak jarang ikut tidur bersama Tama. Pelepasan 2 hari agenda libur tersebut rutin Putri manfaatkan demi menghabiskan waktu di sekitar kakak kesayangan.

Menanggapinya, tentu Tama tidak keberatan sekali pun, bahkan senang dapat menghibur Putri. Sebaliknya, Tama pula sering dibuat tergelak sebab tingkah bocah kecil tersebut. Mungkin, dua hal yang sedikit mengganggu Tama hanyalah besar tenaga dan kebiasaan Putri yang harus mengacak-acak ruangan guna membangun istana boneka. Tama yang termasuk golongan remaja jompo, alhasil butuh mengekstrak energi lebih demi menandingi semangat Putri yang luar biasa, sedangkan kamarnya yang dari awal memang tidak tertata rapi, akan semakin tak karuan keesokan paginya.

"Bang, Putri mau bangun istana buat Teddy sama Caca di dekat Punci-Punci boleh, ya?" 

"Hah? Iya, boleh. Terserah kamu aja." Melirik dari kasur, Tama terkekeh kala Putri nyaman menyebut samsaknya dengan julukan 'Punci-Punci'. Dahulu, ketika Putri menanyakan benda tersebut fungsinya untuk apa, Tama malah memeluk kantung berisi sabuk karet itu dan mengumpamakannya selaku boneka kesayangan. Punci-Punci ia adopsi dari Bahasa Inggris, yaitu punch, namun karena pelafalan Putri belum terlalu jelas, Tama mengubahnya agar gampang diucapkan.

"Putri punya Caca sama Tedi, kalau milik Abang namanya Punci-Punci." 

"Oh, bentuknya beda banget dibandingkan punya Putri! Tapi, kok, boneka Abang kumal banget, sih? Pasti sama Abang nggak dirawat baik-baik, ya? Kasihan tau Punci-Punci-nya."

Beruntung, anak kecil mudah diakali. Tama tidak tahu bagaimana cara menjelaskan bahwa samsak tersebut merupakan sarang tinjuan kasarnya di saat kalut emosinya tengah melanda.

"Putri cari apa, sih? Hm?" Mendengar kegaduhan, Tama pun menegakkan kerangka tubuhnya mengamati Putri dari sisi ranjang. 

Bocah tersebut berlarian ke sana kemari mengeksplorasi tiap jengkal ruangan Tama. Putri mengambil barang apa pun yang dirasa sesuai untuk properti istana bonekanya. Mulai dari ikat pinggang yang dibentang menjelma tembok perkebunan, handphone serta kancing seragam yang terputus dialihfungsikan sebagai kereta berkuda, bahkan ide-ide unik lain yang tak terpikirkan semacamnya.

"Duh, besok Abang harus kerja rodi ini kalau kamu berantakinnya kayak begini." Mengacak rambutnya sedikit kewalahan, Tama kemudian berdiri menghampiri Putri yang berpotensi menginvasi zona pribadinya terlalu jauh. Sampai detik ini, barangkali Tama kelewat membiarkan Putri berbuat sekenanya sehingga anak kecil itu berani membuka lemari bajunya dan membongkar beberapa kotak yang tersimpan agak menjorok ke dalam.

"Tangan kamu nanti debuan, Putri. Carinya jangan di sini, ya?"

Berbagai benda terserak berhamburan dan Tama terpaksa memungutnya ulang satu per satu, padahal koleksi usang tersebut sudah lama tidak ia sentuh. 

"Bang, kok, Abang nggak bilang kalau punya banyak mainan di kotak ini? Tau begitu, Putri, 'kan, bisa pinjam."

Sebagian penuh, wadah persegi berwarna abu-abu itu memang diisi dengan setumpuk mainan favorit Tama di kala kecil. Terkait pertanyaan Putri, Tama mengerutkan kening menimang-nimang kenapa dahulu ia tidak membuang atau menyumbangkannya kepada panti asuhan, tetapi malah menyimpannya di sudut kamar yang terpencil.

MALAWhere stories live. Discover now