6. Target, Locked

263 47 13
                                    

"Kita tinggal dapetin kunci itu dari Bulan."

Suara Didit terdengar santai. Diam-diam mengambil barang, bukan sesuatu hal yang sulit untuk mereka lakukan.

"Besok pas kelas, Cio sama lo bisa deketin tuh cewek dan ambil kuncinya," tambah Hadian.

Cio diam saja, takut salah bicara lagi seperti saat di depan lab litigasi.

"Cewek namanya Bulan itu keliatan pendiem dan serius. Dia sering makan mie ayam sendirian, kayaknya nggak punya temen di kampus sini. Gayanya juga selalu rapih. Pake kacamata bulet, kuncir kuda, kemeja flanel, bawa buku tebel. Kalau gue ajakin ngobrol di kedai juga jawab seperlunya. Tipe serius, ngebosenin, kutu buku," jelas Didit mengutarakan penilaiannya pada Bulan yang sudah langganan kedai mie ayamnya sejak ia pertama kali buka.

"Kalau dipikir-pikir, dia pelanggan pertama kedai mie ayam gue," lanjut Didit mengingat-ingat saat pertama kali kedai mie ayamnya buka beberapa bulan lalu saat awal semester genap.

"Yaudah, biar gue sama Cio coba ambil besok pas kelas. Nggak bakal susah ambil kunci dari warga sipil. Apalagi dia nggak punya pertahanan," putus Orlen.

Orlen berdiri menatap whiteboard yang kini sudah penuh dengan banyak coretan dan foto, termasuk potret dari Bulan Riang Mentari yang menggerai rambut panjangnya dan menatap kamera serius.

Manik Orlen menyasar pada pupil mata Bulan. Entah mengapa, meski Orlen berkata mengambil kunci dari mahasiswi itu tak akan sulit, tapi firasatnya berkata, itu tidak akan semudah perkiraannya. Karena tak banyak orang, yang berani menatap matanya langsung dan bahkan berani konfrontasi dengannya.

.

Setelah rapat malam itu selesai, Cio memilih duduk di dekat jendela apartemen. Menatap pemandangan Kota Bandung dari lantai atas Gedung Apartemen itu. Sengaja mereka memilih apartement dengan lantai paling atas, agar memudahkan evakuasi jika ada hal tak terduga terjadi. Entah helikopter, atau terjun dari atas gedung. Jauh lebih mudah dibanding harus menghadapi warga sipil atau polisi di bawah.

Hadian yang menyadari gelagat tak baisa Cio yang biasanya selalu riang, memilih mendekat.

Pemuda yang menjadi rekan sesama mahasiswa Orlen di misi kali ini itu, meski berperan sebagai seorang mahasiswa yang tenang, namun sebenarnya dia sosok yang riang dan ramah. Entah bagaimana, pemuda seperti itu yang akan dengan mudah menjadi populer di mana pun ia berada memilih menjadi seorang Tentara Intelijen yang harus hidup dalam persembunyian dengan identitas palsu.

"Lo diomelin Orlen sama Didit?" tanya Hadian mendudukan diri di sisi Cio.

"Eh? Enggak, Bang."

Hadian tersenyum tipis.

"Meski Didit keliatannya ramah dan seneng bercanda, tapi dia sebenernya sosok keras yang susah dideketin. Dia nggak bisa toleransi kalau itu menyangkut warga sipil. Didit punya pengalaman nggak menyenangkan soal itu."

"Pengalaman nggak menyenangkan?" tanya Cio.

Hadian mengangguk, "dia ahli bahasa dan kunci. Berkat kemampuannya itu, dia dikirim ke Rusia buat cari celah agar Rusia dan sebuah organisasi gelap perdagangan senjata enggak berseteru dan berakhir menyengsarakan negara-negara berkembang kaya Indonesia. Di sana, dia diharuskan ngejalin negosiasi dengan salah satu pimpinan tinggi organisasi gelap itu, tetapi sayangnya negosiasi nggak berjalan mulus dan tiba-tiba sekolah tempat Didit menyamar jadi Guru Bahasa diledakkan. Hanya demi menakut-nakuti pihak lawan agar menyerah."

"Tentu aja, Rusia bukan negara yang bakal nyerah cuman karena ledakan bom. Mereka berhasil melawan dan menang. Pada akhirnya negosiasi tersebut gagal dengan dibubarkannya organisasi dan ditangkapnya para pimpinan organisasi itu. Lalu, Didit dipanggil untuk pulang ke Indonesia dan dapat kenaikan pangkat serta lencana khusus." Hadian menoleh sedikit, pada Didit yang tengah mempelajari kunci lab litigasi yang rumit itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 11, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Intel KampusWhere stories live. Discover now