Kami tiba di rumah sakit dan dengan langkah lebar, setengah berlari aku menuju ruangan yang disebutkan Mas Emir tadi. Kalau tidak ada Mas Emir yang mengingatkan aku sedang hamil besar, aku pasti sudah berlari begitu mobil terparkir. Pikiranku kacau, perasaanku campur aduk. Setelah mendengar sedikit penjelasan Mas Emir tadi, aku tidak punya tenaga untuk bicara atau merespon kecuali menangis dan ingin segera sampai ke rumah sakit.
"Bunda masuk rumah sakit tadi jatuh di kamar mandi."
Kalimat pertama yang Mas Emir ucapkan setelah mewanti - wantiku untuk tetap tenang. Mendengar kalimat tersebut, pandanganku gelap seketika dan lantai yang aku pijak ini terasa seperti jelly.
"Na ... sayang," panggil Mas Emir menyadarkan aku.
Aku tak mampu mengeluarkan sepatah katapun, cuma air mata yang menetes kembali tanpa komando.
Mas Emir segera membawaku ke dalam pelukannya, dan dalam dekapannya tangisku pecah.
"Bunda pasti baik-baik aja," pujuk Mas Emir. "Sekarang kita ke rumah sakit, ya."
Setelah memastikan keadaan rumah aman dan terkunci, mobil Mas Emir melaju membelah jalan raya. Sepanjang perjalanan, berbagai kemungkinan terburuk berkeliaran di dalam kepalaku ini. Semua kenangan indah bersama Bunda seakan-akan menari indah di pikiranku. Aku tak kuasa menahan sakit sehingga aku meringis ketika merasakan tendangan dari bawah perutku.
"Sayang, kenapa?"
"Nggak apa-apa, Mas. Si kecil cuma nendang."
Minum dulu ya, jangan mikir yang aneh-aneh dulu. Bunda pasti baik-baik saja." Mas Emir memberiku air mineral yang ada dimobil.
Elusan tangan Mas Emir terasa dipermukaan perutku. "Sayangnya baba, jangan nendang perut Umma keras-keras ya, Nak. Kasian Umma kesakitan."
"Gapapa kok, Mas. Nana sudah biasa. Mungkin si adik mau nenangin Umma nya juga."
Dari kejauhan dapat kulihat Bang Rifki dan Kak Hikma di depan sebuah ruangan, tanpa pikir panjang aku berlari dan berhambur di pelukan Bang Rifki, meluapkan segala tangis yang tadi coba kutahan.
"B-bang Bunda kenapa?" tanyaku setelah tangisku reda—masih di dalam pelukan bang rifki.
Bang Rifki tak menjawab malah memelukku lebih erat lagi. "Bunda baik-baik saja kan, Bang?" tanyaku lagi.
Hening menguasai kami, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Muncul seorang dokter yang sudah lumayan berumur. Tatapan itu sungguh aku sangat membencinya terlebih setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dan ketakutan terbesarku ternyata datang.
Bunda meninggal.
Pandanganku seketika gelap, seakan-akan bangunan mewah rumah sakit ini runtuh seketika dan peganganku di tubuh Bang Rifki mengendor seiring tangis pilu yang masih bisa kudengar dari orang-orang sekitarku—bang Rifki, Kak Hikma dan Mas Emir. Kesadaranku menipis tatkala rengkuhan dapat kurasakan dari arah belakang.
"Na..."
"Sayang."
Bang Rifki dan Mas Emir memanggilku bersamaan dengan hilangnya kesadaranku.
oOo
Kehilangan sosok ibu yang selama ini juga berperan sebagai sosok ayah tentu pukulan terbesar bagi kami. Kami berempat hanya punya Bunda di hidup kami. Kehilangan beliau merupakan mimpi buruk kami semua. Kami tidak pernah membayangkan kalau Bunda akan pergi secepat ini, kami masih butuh sosok ibu sekaligus ayah di kehidupan kami walaupun kami semua sudah berkeluarga.
YOU ARE READING
Suri Hati Mas Emir
RomanceReana pikir menikah karena di jodohkan itu hanya ada di cerita Wattpad yang sering dia baca, nyatanya di usia 27 tahun Reana harus menerima kenyataan bahwa apa yang biasa dia baca terjadi di kehidupan nyata. Menikah karena di jodohkan dengan laki-la...
