24. U Make Me Think That I'm Worthy Enough. [Song Bora]

Start from the beginning
                                    

Pergi ke kampus, masuk ke kelas pagi tepat sebelum Professor masuk ke kelas, aku harus duduk di satu-satunya kursi yang tersisa dan berbagi meja dengan Lee Changhyun -- ya, salah satu rival beasiswaku. Yang dinginnya sebelas dua belas dengan Yoon Jeonghan.

Canggungnya combo.

Hari ini memang kurang menyenangkan. Sampai-sampai kepalaku tidak bisa menyerap setiap kuliah Professor dengan sempurna.

Tanpa sadar, kurangkum seluruh ketidakenakan hatiku itu dalam satu desah panjang.

"What's the sigh for?"

Suara lembut itu seketika menarikku kembali ke realita.

Aku menoleh pada lelaki ramping nan tinggi yang sedari tadi berjalan di samping kiriku. Mata runcingnya menatapku lembut dengan alis terangkat di atasnya, menyorot sebuah tanya.

Kugelengkan kepalaku yang kaku. "Bukan apa-apa."

"Mikirin sesuatu, ya?"

"Iya. Tapi enggak penting kok."

"Seberapa enggak penting emang, sampe bikin kamu mendesah panjang gitu? Hmm?"

Langkahku jadi terhenti, hingga langkahnya ikut terhenti. Joshua Hong, sejak awal memang selalu ingin tahu tentang isi kepalaku, ya.

Kutatap wajah tampannya itu lekat-lekat. Hari ini dia pakai baju serba gelap dari kepala hingga kaki, tapi tidak sampai membuatnya tampak seperti orang berkabung, he he. Joshua tetap keren. Jaket bomber hitam berpolet abu ini sangat cocok untuk proporsi tubuhnya yang ramping atletis.

Pertanyaan itu tidak pernah hilang dari benakku; apa sih, yang dilihat cowok sekeren ini dariku? Dengan tampang sekeren ini, dia bisa berkencan dengan gadis tercantik di kampus ini.

Bukan gadis mungil dengan tampang anak SMP sepertiku.

"Aku cuma lagi mikir.. gimana caranya aku balas hadiah sweater hoodienya Joshua yang mahal itu," jawabku sebelum mengulum bibir.

Aku tidak berbohong. Itu juga salah satu dari beberapa yang sedang membuat kepala sesak.

Kontan ia mencibir lucu. Tangan lebarnya mengacak pelan puncak kepalaku. "Aish. Udah dibilang, jangan dipikirin. Jangan terbebani. Aku masih punya sisa uang jajan buat bulan ini, kok."

Pelan-pelan kurapikan kembali rambutku. Nah, itulah letak kegelisahanku. Uang jajanku dan uang jajannya saja sudah timpang jauh.

"Aku juga pengen kasih hadiah buat Joshua, tapi aku bingung, Joshua keliatan enggak kekurangan sesuatu apapun, jadi aku enggak tau Joshua lagi butuh apa sekarang."

Joshua tersenyum tipis mendengar pengakuan jujurku. Duh, ketahuan sekali betapa perhitungannya aku sekarang, memilih hadiah berdasarkan kebutuhan demi efektivitas pengeluaran.

"Bora, listen," tangan lebarnya meraih dua tanganku. "You gave me a lot already. Kamu ada di samping aku aja, itu udah jadi hadiah berharga buat aku."

Sial, dia malah balik menyerangku dengan gombalan maut.

Melihat wajahku yang sepertinya memerah bak tomat rebus, ia langsung terkekeh kecil.

"Aku serius. Based on experience, bukan asal gombal."

Lagi, dia membuat perasaanku melambung tinggi dengan sebuah pujian kecil, seolah-olah aku sudah menyelamatkan negara. Selain act of service, memang apa lagi yang telah kulakukan padanya? Penampilan cantik? Tidak. Kata-kata manis? Apalagi. Yang kukatakan malah selalu bikin orang salah paham.

"Aku cuma pengen kasih kamu sesuatu yang bikin kamu inget sama aku tiap kali kamu pake barang itu, Bora. Bukan pengen bikin kamu sedih atau kepikiran kayak gini. So, just let kinda worries go, hmm?"

I DESERVE UWhere stories live. Discover now