Wanita Pemesan Puisi

122 2 0
                                    

RAFM

Tepat malam ini aku diminta menulis puisi. Sebenarnya sejak sore tadi, hanya perjalanan yang harus kutempuh jaraknya tidak selemparan batu. Mungkin, jika batu itu dilemparkan ribuan kali bisa jadi kau akan paham jarak rumahku. Aku masih kebingungan hendak membuat puisi seperti apa. Kuperas seluruh otakku dan kucoba cari contoh puisi di internet, sialnya tak ada satu pun yang menjadi pemicu jemariku lancar dalam menulis puisi itu.

Kubuka kamus digital, dari telpon genggam canggihku ini, kuketik alphabet A sampai Z disaat itu pula keluar ribuan kosakata setiap hurufnya. Sialnya, bukan semakin mudah malah kembali mempersulit diriku. Ribuan kosakata yang ada membingungkan untukku pilih. Beberapa kosakata yang kupikir sangat keren jika kucoba sisipkan, entah kenapa kuhapus kembali. Alasannya beragam, kosakata terlalu umum atau tidak unik, tidak menarik bahkan kampungan. Hingga akhirnya beginilah aku, duduk di kursi plastik dengan satu kaki terangkat.

Tak habis pikir aku, mengapa kau tiba-tiba datang kepadaku dan menagihku sebuah puisi. Kau mengganggu masa tenangku tadi. Bahkan mengacau pada rutinitas sore hariku yang setiap harinya duduk di sudut café, memesan segelas Es Matcha Latte lalu pura-pura mencari kesibukan dengan laptop yang kubawa.

"Akan lebih baik jika kau bisa membuat kumpulan puisimu sendiri," ucapmu sembari mendekati telinga kiriku dengan suara agak pelan.

Gila! Itulah jawabanku secara spontan. Satu puisi saja aku kepayahan malah kau minta membuat lebih banyak.

Kau duduk di hadapanku lantas menghalangi pandanganku dari lalu-lalang pejalan dan muda-mudi yang sedang pacaran. Tak lama pelayan datang membawa pesanan ke hadapanku, segelas Ice Coffee Latte dan potongan kebab yang diiris serong.

"Kau sebenarnya bisa bukan membuat puisi itu?" katamu dengan lengan yang menggenggam hendak menegukkan minuman ke bibir.

"Pertama aku datang ke sini bukan untuk membuat puisi," ucapku dengan pandangan masih fokus pada laptopku. "Dan tak ada yang mempersilahkanmu untuk duduk di hadapanku,"

Senyum kecut singgah di bibirmu yang membuat gelas yang kau genggam bergetar sedikit. Kau simpan Ice Coffee Latte kali ini kau ambil potongan kebab yang terhidang itu dan dengan tidak sopannya berbicara sembari mengunyah.

"Kau bukan presiden, menteri atau walikota yang berhak melarangku. Bahkan kau juga bukan pemilik café ini. Jadi aku berhak duduk di tempat mana pun yang aku inginkan," balasmu dengan senyum senang.

Aku tak mau menjawab apa apa. Untuk sekadar memberi reaksi di wajahku pun enggan. Dalam hening kita berdua menenggelamkan diri masing-masing. Kau dengan telepon genggammu dan aku dengan segala tipu dayaku. Tanpa harus kuperhatikan, langit mulai gelap karena lampu-lampu café mulai terang benderang dan beberapa pasangan kini tak lagi lalu-lalang namun sudah mencari tempat ternyaman untuk bersama menghadapi malam.

"Apakah kau ingin memenangkan lomba untuk tak berbicara barang sepatah kata?" tanyamu menatapku dengan kedua lengan menopang dagu.

Dari nada bicaramu itu, membuatku terenyuh dan mulai merasa iba. Namun, entah kenapa dalam benakku memang sama sekali kosong bahasan pembicaraan denganmu.

"Apa yang harus kukatakan kepadamu?" kutanya balik.

"Akhirnya kau berbicara. Tak ada yang harus kukatakan, namun buatkan aku puisi,"

Jika tidak kuturutkan permintaanya, bisa jadi dia akan mengikutiku bahkan ketika aku hendak pulang. Tak ada salahnya kubuatkan, tak usah yang bagus apalagi diksi yang unik. Bikin saja alakadarnya sekadar ia segera angkat kaki dari hadapanku dan aku bisa mendapatkan ketenanganku kembali.

CERFIKS (CERITA FIKSI)Where stories live. Discover now