Pecinta Kucing

479 7 1
                                    

RAFM

Ini sudah hari kedua, setelah temanku kehilangan kucingnya yang bernama Margo. Entah mati atau kabur ingin kawin dengan kucing lainnya. Di depan kontrakanku, ia duduk menatapi pohon rambutan yang rimbun. Sesekali ia akan berjalan keluar pagar; melongok ke kanan dan kiri, ke genteng rumah tetangga, bahkan seringkali ia mengejar kucing yang kebetulan lewat.

"Mengapa kau kejar kucing itu?" tanyaku.

Mukanya yang kecut menjawab. "Barangkali, ia kenal kucingku dan ia akan bilang kepadanya bahwa aku sedang mencarinya,"

Sore ini, tingkah absurdnya meningkat. Ia mulai datangi tetangga-tetangga, layaknya orang bertamu; basa-basi dahulu dan meminta tolong kepada mereka bahwa jika melihat Margo di jalan, tolong dibawa kembali.

Kemarin malam ia tidak tidur, kudengar kamarnya memutarkan lagu-lagu sedih. Semakin malam, semakin sendu seiring volume suara yang diputar pelan. Namun cukup terdengar dari kamarku. Pukul 2 pagi aku coba menghampirinya. Bukan karena aku peduli atau punya empati terhadapnya, melainkan karena aku selesai nonton bola dan hendak makan mie instan.

Aku ketuk pintunya pelan-pelan. Jika dihitung, hampir sekitar 10 detik taka da jawaban.

"Ada apa?" tiba-tiba ia membuka pintu kamarnya dengan kepalanya keluar di antara pintu yang setengah dibuka.

Aku coba basa-basi. "Dari pagi aku tak lihat kau makan. Aku mau buat mi goreng, apakah kau mau?"

Dia hanya menjawab. "Tidak. Terima kasih," lalu menutup pintu.

Saat ini sudah menjelan magrib namun aku belum melihat tanda-tanda ia pulang. Bagiku rasanya lucu sekali untuk ukuran lelaki dewasa, bisa begitu gamang saat kucingmu hilang. Memang, aku akui, bahwa temanku ini, sejak sembilan bulan lalu, ia membawa kucingnya ke kontrakan kita, selalu ceria dan bahagia. Ia hanya akan tidur jika ada kucingnya berbaring di atas perutnya. Dalam waktu luangnya, ia hanya akan bermain dengan kucingnya, menjelang sore ia bawa kucingnya di pundak seperti burung gagak, lalu ia tertawa senang di pohon rambutan.

Aku juga ingat dua bulan lalu, sehabis aku solat isya ketika ia baru pulang kerja, ia bercerita padaku bahwa ia baru saja diputuskan oleh pacarnya. Menurut pengakuannya, ia diselingkuhi oleh kekasihnya.

"Darimana kau bisa tahu kau diselingkuhi? Memang kau punya bukti?" tanyaku.

Ia mengeluarkan handphone di sakunya lalu menunjukanku foto kekasihnya sedang makan, di foto lain sedang tertawa, da nada juga yang sedang berjalan bergandengan mesra denga pria lain.

Tak lama kucingnya datang dari dapur dan langsung naik ke pelukan temanku, ia pun melepas handphone yang masih terpampang foto mantan kekasihnya yang sedang selingkuh. Dan tertawa dan berguling-guling bermain dengan kucingnya. Ketika itu, aku pun heran, bukankah menyakitkan dikhianati kekasih yang kita cintai? Tetapi, temanku tidak. Jika dibandingkan dengan sekarang, kehilangan kucing membuatnya sangat hancur ketimbang dikhianati kekasihnya.

Aku juga tidak bisa lupa bahwa saat ia makan, baik duduk di kursi atau lesehan di lantai kucingnya, selalu ada di sampingnya. Menunggu remah-remah makanan yang temanku berikan. Walaupun sebenarnya, kucingnya punya stok makanan tersendiri yang setiap dua minggu ia beli di toko khusus peralatan kucing. Kuperhatikan juga, kucing temanku ini tidak merusuh saat kami makan bahkan jika kami makan ayam, daging, serta ikan. Kucing itu hanya meringkuk, jika pun bergerak hanya mondar-mandir di ruangan saja.

Menjelang jam 9 malam, ketika aku sudah berada di dalam kamarku. Kudengar suara kasak-kusuk di luar kontrakan. Aku mengintip, dan kulihat temanku sedang membuka jas hujannya dan menggantungnya di pagar. Ia membawa selebaran kertas yang telah basah dan ia simpan di meja. Ia duduk dan melucuti sepatu dan kaos kakinya. Aku pun segera menghampirinya untuk membukakan pintu.

CERFIKS (CERITA FIKSI)Where stories live. Discover now