07_hard-to-get approval

Zacznij od początku
                                    

"Ini ibu saya bawain makanan. Buat Pak Deri, ya."

Uluran itu diterima. "Kebiasaan Mbak Isy, repot-repot."

"Nggak repot, Pak Deri. Tadi pagi saya lupa mau ngasihnya, buru-buru. Maaf, ya, Pak, jadinya udah dingin."

"Loh, wong dikasih aja saya udah alhamdulillah. Masakannya selalu enak ini, Mbak."

Keduanya terkekeh. Meski tidak setiap hari, tetapi Isy memang sering membawakan makanan untuk Pak Deri. Mungkin itu juga yang membuat tidak adanya drama penolakan, karena Isy sudah terlebih dahulu terbiasa "memaksa" Pak Deri menerima pemberiannya.

"Kalau gitu, saya duluan, ya, Pak. Sekali lagi makasih udah mau dititipin."

Pak Deri tersenyum, mengacungkan jempol. "Sip. Padahal bisa minta saya saja yang bawa ke dokter loh, Mbak."

Isy mengernyit saat penuturan itu terdengar. Kalau tidak salah ingat, Isy tidak mengatakan niatnya kepada Pak Deri. Meski setelahnya, gadis itu segera mengusir pemikiran di kepala. Kemarin lusa, Pak Deri melihat Isy yang khawatir dengan kondisi scabies kucing, dan pet carrier sudah cukup menjadi fakta pendukung kesimpulan Pak Deri. Maka, gadis itu memilih menjawab, "Nggak apa-apa. Pak Deri kan kerja juga. Ya sudah, duluan, ya, Pak."

Pak Deri menggelengkan kepala. "Yo wis, hati-hati, ya, Mbak"

Isy tersenyum mengiakan, lalu bergerak menjauh. Namun, belum panjang jarak yang dia tempuh, seruan namanya terdengar.

"Mbak Isy mau ke dokternya sekarang?" Itu suara Pak Deri.

Isy menoleh. "Iya, Pak. Kenapa?"

"Waduh." Samar, suara itu yang didengar Isy. Namun, jarak mereka yang tidak begitu dekat membuat gadis itu urung menanggapi, memilih menunggu perkataan selanjutnya. "Ora opo-opo. Ati-ati, ya, Mbak."

Isy mengangguk, sembari mengacungkan jempolnya sebelum berbalik dan berlalu. Kadang, saat bersama Pak Deri, Isy merasakan kehadiran seorang ayah yang senantiasa memperhatikan putrinya. Gadis itu tersenyum, bersyukur meski hanya Pak Deri satu-satunya lelaki asing yang membuatnya nyaman dan tidak keberatan untuk menjalin interaksi.

***

Isy mau menyerah saja rasanya, mendapati usaha yang sejak tadi dia lakukan sama sekali tidak membuahkan hasil. Carrier pet yang seharusnya sudah diisi oleh makhluk mungil, sampai sekarang masih kosong. Padahal bermenit-menit sudah berlalu sejak dia sampai di belakang gedung Sosiologi. Entah berapa kali pula dia harus menahan gatal di langit-langit mulut, serta bersin yang berulang kali datang, padahal sudah ada masker yang menempel di wajahnya.

Lihatlah. Kucing yang seharusnya dia bawa, justru tengah bersembunyi di celah sempit tumpukan kursi yang tidak terpakai, membuat gadis itu frustrasi sendiri. Tangannya terulur, dengan dry food di atasnya. Itu adalah usaha yang lahir setelah dia susah payah memberanikan diri. Sebab, sudah pasti, jika kucing itu bergerak mendekat dan menggapai tangan Isy, gadis itu akan bergerak mundur dengan cepat. Pada dasarnya, Isy tidak takut kucing. Akan tetapi, alerginya membuat gadis itu secara otomatis terlalu waspada.

Benar saja. Kala kucing itu dengan tergesa menerjang Isy, gadis itu menghampurkan dry food ke tanah. Badannya bergerak mundur dengan pekikan kecil yang dicipta.

Namun, keterkejutan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang hadir saat suara dehaman dan langkah kaki menyambangi telinga. Isy memekik kecil, disusul tawa kecil yang seolah tidak peduli dengan deru jantungnya yang menggila.

Isy mendongak, lalu melirik kesal. Perlahan, dia menetralkan irama jantung, bersamaan dengan Jaza--sumber suara yang mengejutkannya--yang bergerak mendekat ke arah kucing yang sibuk mengunyah makanannya. Seperti de javu. Isy melihat pemandangan yang sama dalam rentang waktu yang sama sekali tidak lama. Begitu pun dengan rasa yang bersemayam, yakni sebuah kekesalan.

Protect At All Costs (END)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz